Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Engkong Unus Kehilangan Rawa Ketam [Planet Kemiskinan - 20]

19 September 2010   12:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:07 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_262542" align="aligncenter" width="300" caption="Pertempuran di Rawa Ketam"][/caption]

Umur Engkong Unus menurut perkiraan sudah 86 tahun --- konon ia lahir menjelang Hindia Belanda akan mengalami Malaise (diucapkan Jaman Mleset).Ujud tubuhnya masih kekar, tetapi ya, itulah pendengaran rada budeg plus mata rabun, memakai kacamata kepatutan saja --- konon di beli di Cikini sudah 44 tahunyang lalu --- lumayanlah agar ia tidak tersasar.

Di kampung itu tinggal beberapa saja orang aslinya --- selebihnya telah pindah kearah Karawang, tetapi terbanyak ke Banten --- konon memang nenek moyang mereka adalah Orang Sunda. Harta Engkong Unus hanya tinggal rumah petak sewaan 4 unit, dengan yang dipakainya sendiri . Tiap rumah disewa 300.000 rupiah oleh Orang Indonesia yang miskin.

Satu unit rumah disewa oleh Yu Tun, pemilik warung Tegal di jalan besar --- ia membayar dengan makanan untuk engkong --- makan nasi tiga kali, pagi dan sore diberi kopi --- Yu Tun tidak berhitungan dengan Engkong --- kalau engkong sakit pun ia yang membelikan obat atau malah membawa ke dokter.Seperti hari raya begitu, walaupun YuTun pulang mudik --- ia mengatur anak buahnya melayani makan engkong.

Engkong jarang sekali meninggalkan teras kecil rumahnya --- di sana ada amben bambu tempat ia tidur-tiduran sepanjang hari --- pekerjaan-nya hanya mengurus seekor ayam jagonya dan seekor burung perkutut.Begitu senja ia masuk ke dalam rumahnya --- selepas sholat Isa ia biasanya memainkan sulingnya --- tidak jelas itu apa lagu Sunda apakah lagu Melayu kuno, lagu stambulan.

Dengan dituntun si Bakri anak buah Yu Tun --- ia sholat Id di Mesjid Jami’Jihad fi Sabillillah, yang konon mempunyai peran penting dalam perang melawan Jepang maupun melawan Nica, Gurkha dan Poh An Tui--- Engkong juga adalah pejuang perang kemerdekaan , dia masih mempunyai parut bekas tembakan di sisi paha kirinya --- maka itu jalannya rada tempang.

Setelah sholat bubar --- banyak orang mencium tangan engkong.Yang istimewa engkong juga banyak mendapat hadiah uang dari jemaah --- kemarin malam juga ia mendapat bagian zakat --- maka dia berniat mencari anak cucunya --- ia ingin membagikan rejeki lebaran-nya. Sengaja ia minta si Bakri menuntunnya jalan keliling ke utara baru kembali ke selatan --- ia kangen ingin melihat Rawa Ketam --- setahu dia hanya tinggal setu itu yang menjadi tanda kampung halamannya…………..

Ia bertanya dalam hati, mengapa ia tidak melihat apa-apa lagi --- di mana Rawa Ketam milik kampungnya ?Berkali-kali ia berhenti.Akhirnya ia bertanya : “Bakri di mana Rawa Ketam --- kita kudu lewat di situ, engkong ingin melihat setu kenangan itu”

“Apa engkong ?Setu, balong engkong ?”Engkong Unus melongo mengadahkan wajahnya ke wajah Bakri.

“Sudah diurug engkong --- ini engkong, sampai di sana ada empat kavling besar-besar, sudah diurug engkong “

“Siapa yang mengurug ?Ini tembok-tembok milik siapa Jang ?”

“Milik orang kaya engkong, sudah dibeli orang engkong”

“Yang ngejual siapa ?Engkong heran mengapa Rawa Ketam bisa dijual belikan, dulu memang orang kampungnya hanya mengakui tanah pekarangan saja yang dimiliki, sedangkan rawa atau setu menjadi milik bersama --- setiap musim kering , menjadi tradisi bertahun-tahun, menangkap ikan bersama-sama dan membagi rata hasil tangkapan……………….ia tercenung melihat tembok tinggi sepanjang-panjang perjalanan pulang.

Ia tidak ikhlas milik bersama bisa dijual belikan, oleh siapa ?Hatinya panas dan menaruh dendam.“Jang ayo kita kembali lagi ke mesjid jang.”Dengan patuh si Bakri menuntun engkong kembali ke mesjid.Dalam tertatih-tatih Engkong Unus terheran-heran, mengapa jaman sekarang orang begitu gampang mengurug rawa yang menjadi milik bersama orang kampung --- ia ingin menanyakan kepada Imam mesjid.

Tergopoh-gopoh Imam Mesjid dan beberapa orang pengurus mesjid menyambut kedatangan engkong.“ Ada apa engkong, kembali ?Apa uangnya hilang ?”

“Assalamualaikum Imam --- aku heran mengapa Rawa Ketam diurug orang, siapa yang mengurug dan menjual rawa itu ?”katanya terbata-bata.

“Masya Allah engkong --- engkong masih memperhatikan lingkungan”

“Itu milik bersama orang kampung, siapa yang menjual ?”Semua orang yang menyaksikan tertawa dan tersenyum --- menyaksikan orang tua ini masih mempersoalkan Rawa Ketam --- yang telah menjadi kavling seluas masing-masing 2000 samapai 3000 meter persegi.Tidak ada orang kampung atau kelurahan yang tahu bagaimana itu Mafia tanah menyunglap tanah itu bisa bersertifikat kini.

“Kong --- mesjid atau masyarakat dibuat tidak berdaya oleh mafia itu --- seperti serangan tanpa bentuk, tidak ada yang bisa melacak, dan siapa yang bisa peduli --- karena itu daerah tak bertuan ---oleh mafia yang mengerti hukum dan prosedur mengolah rawa atau tanah yang tidak bertuan menjadi tanah bersertifikat --- diperjual belikan --- dan mafia dengan organisasi tanpa bentuknya --- menghilang tanpa bekas.

Mengapa bisa.Memang bisa ?

‘Kong, kerja mafia itu seperti siluman engkong --- beberapa tahun yang lalu baru sedikit yang diurug orang seperti tidak niat menguasai --- setelah diurug berdirilah warung dan tempat pool atau parkir metro mini di sana --- karena pernah ribut-ribut dengan orang kampung, masalah keributan minum tuak dan miras --- polisi membubarkan pool itu, kemudian menjadi warung nasi, tidak ada lagi peminum tuak di sana --- sekonyong-konyong saja ratusan truck mengurug rawa itu, Kong --- siapa yang mau peduli, orang kampung tidak mempunyai bukti apa-apa”.

Kemudian ada seorang pemuda memperjelas praktek semacam itu --- sudah lama dipraktekan orang , menyerobot rawa, setu, kuburan kuno, semua diserobot. Praktek semacam itu berlaku di Jakarta Utara, Jakarta Timur, di Jakarta Barat, di Tangerang, di Bogor --- di mana-mana.cara mafia itu bekerja menguasai dan mengusut status tanah --- macam-macam caranya, tetapi biasa bermodalkan organisasi wartawan siluman --- mereka bergerilya mengusut tanah kosong atau rawa tak bertuan.Kemudian karena ketiadaan penyangkalan, segalanya bisa dipersiapkan secara palsu --- habislah menjadi komoditi diperjual belikan.Banyak penyerobotan tanah secara begitu

Berat bagi si Engkong mengerti penjelasan itu --- “Lurah dan Camat pun tidak akan bisa menjelaskan engkong --- apa lagi kita tidak mempunyai bukti kepemilikan --- mereka bisa mempunyai kertas-kertas aspal, yang dilegalisir oleh aparat, kita tidak berdaya engkong “.

Engkong Unus pulang dengan gontai ke rumahnya --- ia dendam, ia tidak mempunyai daya --- mesjid yang dipikirnya benteng terakhir tempat pengaduan-nya, ternyata juga tidak berdaya --- bila semua kampung ini dibeli oleh orang berduit dibelakang hari, ia kuatir nasib mesjid itu --- juga akan tergusur.Ia ingat orang real estate yang berbatasan dengan sisa tanahnya--- telah berulang kali ia didesak-desak agar menjualnya --- pada hal di atas tanah itu ada beberapa kuburan, Engkong Idris dan kerabat nenek moyang-nya --- pasti  terancam juga akan digusur.

Malam sebelum tidur --- perlawanan bagaimana yang harus diperbuatnya untuk menyelamatkan kuburan nenek moyangnya ini, Rawa Ketam telah dengan sewenang-wenang bisa diserobot orang --- ia ingat dulu bagaimana banyaknya pertempuran di sekitar Rawa Ketam terjadi --- dia pun hampir mati tertembak, hanya sipi di sisi paha kirinya --- ia menyaksikan betapa kejam tentara Gurkha memancung tiga laskar pemuda yang tertangkap --- tetapi suatu saat mereka menangkap tiga Poh an Tui yang juga tidak kalah kejamnya --- diputuskan oleh Haji Gani Komandan mereka. Pancung !

Engkong Unus waktu itu sedang berumur 24 -25 tahun, tampil sebagai algojo --- memenggal kepala salah satu tawanan itu.Tiga mayat Poh An Tui itu ditanam di bawah pohon Kendal di tepi Rawa Ketam.Di mana rawa itu kini ?

Hari-hari menantikan ajalnya --- Engkong Unus memendam bara dendamnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun