Pengalaman itulah, yang membuat Pak Rustam menjadi fokus dan peduli terhadap para penyandang disabilitas khususnya yang fisik-yang hampir mirip pengalamannya dengan adiknya. Beliau juga menuturkan bahwa penyandang disabilitas itu sebenarnya hanyalah perbedaan kemampuan. Teman-teman disabilitas sebetulnya tidak papa disebut sebagai penyandang cacat.Â
Namun, penyebutan 'Disabilitas' yang berasal dari ratifikasi dari Internasional, Â dianggap lebih humanis atau setara dengan yang lain (non-disabilitas) hanya kemampuan yang berbeda. "Kamu bisa melakukan ini, saya tidak bisa. Sama tuna daksa bisa melakukan aktivitas lain, tunanetra juga bisa kemana-mana sendiri," tambah Pak Rustam.
Tetapi, yang menjadi permasalahan di masyarkat kita saat ini adalah penyandang disabilitas masih di pandang sebelah mata dan diperlakukan berbeda. Terlebih, jika keluarga memiliki anak atau saudara yang disabilitas. Mereka cenderung untuk menutupi, karena malu dan dianggap aib. Masyarakat juga menganggap disabilitas adalah orang yang perlu dikasihani terus-menerus.Â
Mereka memang tetap perlu didampingi, namun harus diberikan ruang untuk mandiri. Cara pandang inilah yang harus diubah, agar disabilitas mempunyai kesempatan yang sama dalam berkembang dan bersosialisasi di kehidupan masyarakat.Â
Tidak jarang, kita juga banyak melihat penyadang disabilitas yang menghasilkan karya-karya yang luar biasa, seperti bisa menyanyi, melukis, bermain alat musik, dan masih banyak lagi. Hal semacam inilah yang perlu dikembangkan sebagai inklusi penyandang disabilitas.
Di era modern saat ini pun, merekrut pekerja disabilitas sudah mulai digencarkan. Ini juga tertulis dalam Undang-Undang Disabilitas yang berada di Perdani DIY, bahwa dalam dunia kerja peran disabilitas itu tidak ada bagaimana pemerintah, instansi, atau lembaga bisa memberikan inklusi. Meski begitu, kebijakan yang diterapkan juga disesuaikan dengan kebutuhan. "Ya kalau mau diseleksi, diseleksi dengan sesama yang disabilitas. Dan disesuaikan dengan kemampuannya," imbuh Pak Rustam.
Walaupun tidak mudah menjadi pendamping penyandang disabilitas, karena membutuhkan energi pemahaman dalam menangani, dan panggilan jiwa, Pak Rustam berharap Kube Mata Hati bisa terus berlangsung dan menjadi tempat yang menghasilkan bagi penyandang tunanetra.Â
Agar anak-anak mereka bisa bersekolah minimal hingga lulus SMA, karena anak merupakan harapan dan asset masa depan orang tua untuk membawa masa depan yang lebih baik, lebih-lebih keluar dari lingkaran kemiskinan.Â
"Tapi, miskin yang sesungguhnya itu ya miskin hati, miskin moral, dan miskin mental. Sudah punya mobil masih minta. Lebih susah disembuhkan, harus secara spiritual," pungkas beliau.