Mohon tunggu...
Humaniora

Menghargai: Kunci Pendidikan Karakter

20 April 2017   13:01 Diperbarui: 20 April 2017   13:09 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memprihatinkan. Satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan kelakuan sebagian pelajar Indonesia saat ini. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya pemberitaan di media massa tentang perilaku-perilaku para pelajar yang justru seperti tidak terpelajar. Bahkan baru-baru ini, di Yogyakarta yang notabene adalah kota pelajar, terjadi pembacokan yang dilakukan oleh siswa yang masih duduk di bangku SMP. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Beberapa tahun terakhir, pendidikan Indonesia sedang menggalakkan kembali aspek pendidikan yang sempat luput dari perhatian: pendidikan karakter. Pendidikan karakter ini diterapkan dengan cara menyelipkan nilai-nilai moral dalam pelajaran disamping materi inti pelajaran itu sendiri, dengan harapan siswa-siswa akan dapat mengaplikasikan ilmunya disertai dengan kesadaran moral yang tinggi. Tetapi mengapa, saat program pendidikan karakter kembali digalakkan, tetap saja banyak kasus-kasus kriminal dengan pelaku pelajar Indonesia? Apakah program pendidikan karakter yang diselipkan di setiap mata pelajaran siswa kurang efektif?

Sekarang ini, pendidikan di Indonesia masih hanya terfokus pada beberapa bidang tertentu, terutama bidang yang menonjolkan kemampuan analitikal, misalnya matematika dan ilmu pengetahuan alam. Siswa yang memiliki kemampuan lebih dalam bidang-bidang tersebut lebih dihormati dan dianggap pintar, sementara yang tidak menonjol dalam bidang tersebut dianggap bodoh, bahkan diperlakukan seperti sampah, tidak dihargai. Kita ambil salah satu contoh: siswa yang pintar di sekolah, katakanlah menjuarai suatu oilimpiade, selalu mendapatkan penghargaan (predikat, piala, dan sebagainya), sementara mereka yang tidak “pintar”, tidak menjuarai olimpade, tidak pernah mendapat penghargaan, karena memang tidak ada wadah yang pas untuk mereka mengembangkan diri. Hal yang sangat mungkin terjadi adalah, siswa pintar yang sudah tepat berada di tempatnya akan terus mengembangkan diri, karena mereka selalu mendapat penghargaan. Siswa yang tidak mendapat penghargaan akan semakin sulit untuk mengembangkan diri, karena memang tidak ada wadah di sekolah yang memfasilitasi minat dan bakatnya. Hal penting yang bisa kita ambil dari contoh tersebut yaitu betapa siswa tersebut dipaksa memelajari hal yang sebenarnya tidak ia sukai. Paksaan tersebut juga datang dari stigma yang beredar diantara masyarakat Indonesia bahwa untuk menjadi sukses kita harus menjadi dokter, ahli matematika, direktur suatu perusahaan, dan sejenisnya. Padahal kita semua setuju, bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan dengan kemampuan yang berbeda-beda. Tidak pandai dalam pelajaran matematika bukan berarti mereka mutlak bodoh dan dapat dianggap sebagai “sampah”. 

Sebenarnya, kita hanya perlu menghargai minat dan bakat masing-masing individu. Jika seorang siswa merasa direndahkan saat ia melakukan sesuatu yang disenanginya, hal ini akan berdampak buruk pada psikis siswa tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa penghargaan (appreciation), sangat berpengaruh terhadap kepuasan hidup, yang di dalamnya terdapat aspek kepercayaan diri (Halle, 2015). Kepercayaan diri merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengembangkan potensi diri dan bisa kita bayangkan bahwa “pembunuhan” terhadap kepercayaan diri akan sangat berdampak terhadap perkembangan diri seseorang. 

Bukti pembunuhan kepercayaan diri dapat kita lihat dari banyak kasus kriminal dengan pelaku pelajar yang ternyata tidak dihargai di sekolah. Mereka merasa sekolah bukanlah tempatnya, ia tidak memiliki tempat di sekolah. Mereka yang merasa tidak memiliki tempat di sekolah, berusaha menciptakan tempatnya sendiri, agar mereka merasa dihargai, spesial, dan unik. Tempat yang diciptakan oleh mereka adalah bentuk manifestasi dari perasaan tidak dihargai, bukannya sebuah bentuk identitas. Oleh karenanya, tempat tersebut diciptakan untuk menegaskan perbedaan mereka dengan orang-orang yang dianggap pintar di sekolah, sehingga tak jarang wadah tersebut bersifat negatif (untuk membedakan dengan yang pintar). Sebagai contoh, mereka tergabung dalam sebuah geng, jaringan pengedar narkoba, dan lain-lain, karena anak-anak pintar di sekolah tidak biasanya tidak terlibat dalam hal-hal seperti itu. Dengan demikian terdapat perbedaan yang tegas antara si pintar dan si bodoh, si bodoh sekarang memiliki tempatnya sendiri. Pada akhirnya, siswa-siswa yang merasa tidak punya tempat di sekolah, tidak akan mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan sepenuhnya, atau bisa dibilang sering membolos. Lantas kembali ke pernyataan awal, bagaimana pendidikan karakter yang diselipkan di pelajaran bisa efektif, jika siswanya saja dari awal sudah enggan mengikuti pelajaran itu sendiri? Pendidikan karakter yang diselipkan di pelajaran mungkin tidaklah mengatasi dari akarnya, bak penghilang rasa sakit pada kanker. 

Penghargaan akan minat seseorang sangat penting di sini. Minat sangat erat kaitannya dengan jati diri, keutuhan diri. Seseorang yang mengetahui minatnya adalah orang yang utuh, yang melakukan apa yang ia senangi. Seseorang yang sudah mengetahui apa yang ia sukai akan terus melakukan yang ia sukai sehingga ia akan fokus pada minatnya dan secara konsisten megembangkannya. Dengan demikian tidak ada waktu dan keperluan baginya untuk menciptakan atau mencari wadah baru. Maka penghargaan bagi minat tiap orang adalah syarat krusial bagi perkembangan diri masing-masing individu. 

Jika seseorang memiliki kesukaan, yang ia yakini adalah minatnya, namun belum begitu mendalami dan menguasai bidang tersebut, maka orang itu harus mendapatkan penghargaan. Apabila kesukaan terhadap suatu bidang sudah sejak awal tidak dihargai, lantas bagaimana nantinya ia akan mengembangkan diri? Selain itu, hal ini pun berdampak ke permasalahan berikutnya: orang yang tidak pernah merasakan rasanya dihargai, tidak akan tahu cara menghargai orang lain. Pada akhirnya permasalahan ini akan menjadi rantai yang tidak ada akhirnya. 

Masalah penghargaan juga erat berhubungan dengan permasalahan kebhinekaan. Kebhinekaan sendiri berarti berbeda-beda. Indonesia, bukan hanya budayanya yang berbeda-beda, namun kemampuan/skill manusianya pun berbeda-beda. Dengan stigma yang masih sering beredar, bahwa sukses adalah jika kita menjadi dokter, atau direktur perusahaan, pelajar Indonesia akan cenderung memelajari sesuatu yang sebenarnya tidak mereka minati. Dengan demikian terjadi keseragaman profesi, yang dampaknya juga makin memperburuk keadaan. orang-orang akan menempati tempat-tempat yang tidak sesuai, yang menyalahi minat masing-masing. Orang akan dengan dengan setengah hati melakukan pekerjaannya, lebih lanjut membawa kemunduran dalam perkembangan dirinya maupun lingkungan yang lebih luas. 

Bayangkan jika semua orang menjadi dokter, siapa yang akan membatik? Menjadi dalang wayang? Profesi-profesi tersebut sudah dilabeli tidak prospek untuk masa depan. Kembali lagi ke masalah penghargaan, jika kita tidak dihargai dan menghargai, kebhinekaan dalam konsep budaya pun tidak akan tercapai. Lama-lama budaya Indonesia akan punah karena tidak ada orang yang ingin melestarikannya. Begitu juga masalah kebhinekaan dalam hal suku, agama, dan ras. Semua adalah tentang penghargaan. Tanpa penghargaan, kebhinekaan akan terancam. 

Pendidikan di Indonesia perlu memperbanyak wadah untuk mencakup banyak minat dan bakat siswa, memfasilitasi, dan memaksimalkan wadah dan siswa di dalamnya. Dengan diperbanyak dan dimaksimalkannya wadah-wadah tersebut, serta ditumbuhkannya kesadaran akan penghargaan kepada seluruh elemen masyarakat (terutama guru, siswa, orang tua), sebenarnya sudah bisa menjadi substitusi pendidikan karakter itu sendiri. Bila orang menyadari minat dan kapabilitasnya apa, dan sudah tahu tempatnya di mana, serta rasa dihargai, ia akan terus mengembangkannya dan memainkan peran yang tepat di masyarakat, tanpa merugikan orang lain. Jika paradigma dan budaya menghargai ini dengan sungguh-sungguh diterapkan di masyarakat Indonesia, revolusi karakter bangsa akan terjadi dan kebhinekaan pun akan terjaga. 

Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun