Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki di Atas Pusara

5 Mei 2021   20:27 Diperbarui: 5 Mei 2021   20:32 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Pixabay


Lelaki itu menangis di atas pemakaman. Sinar Bulan menerobos rimbun rerumputan liar yang tumbuh menutupi kijing-kijing tua. Huruf-huruf di batu nisan berlumut hampir tak terbaca. Melihat sekeliling, tangis lelaki itu semakin menjadi menyesali apa yang sudah terjadi dan tak mungkin diperbaiki.

Hari ini lelaki itu dibebaskan sekadar untuk mengunjungi kerabat dan keluarga. Di tengah kesedihan ia memanggil-manggil nama istri dan anak-anaknya sambil berjalan pulang ke rumahnya.

Tak membutuhkan waktu lama ia sampai di sebuah rumah mewah. Dengan halaman luas, yang dijadikan taman menambah kesan wah.

"Assalamualaikum." Ucapan salamnya seperti bisikan membaur bersama udara malam. Tak ada satu pun yang mendengar dan menjawab. Hatinya mulai bimbang saat angin kencang menerpa pagar besi dan mencipta nada natural.

Tak peduli lagi ada atau tidak yang menyadari kehadirannya. Ia memasuki rumahnya seperti tamu tak diundang. Di ruang depan terlihat Burhan anak sulung kebanggaannya tengah sibuk dengan gawai-nya.

"Burhan! Burhan! Burhan!" panggil lelaki itu. Namun, Burhan pemuda berpawakan tegap itu tak menggubris. Ia sibuk tertawa-tawa dengan gawai-nya. Mengabaikan suara lelaki itu juga mengabaikan suara adzan berkumandang. Membuat lelaki itu kembali menangis.

Dengan kecewa lelaki itu berlalu menuju kamar istrinya. Sama seperti Burhan, istrinya tak menyadari kehadirannya. Mata lelaki itu kian mengabur saat melihat suasana di kamar istrinya.

Ia menatap lekat istrinya. Wanita yang selalu dicintainya, di turuti segala maunya. Wanita itu terlihat cantik semenjak ia tinggalkan dulu. Wanita berpenampilan seksi itu tengah asyik meliuk-liuk di depan handphone.

"Memang lagi syantik tapi bukan sok cantik."  
Tanpa malu-malu, wanita itu kemudian mengunggah ke sosmed. Sebentar kemudian ratusan like membanjiri akunnya. Membuat hati lelaki itu semakin hancur. Istrinya benar-benar melupakannya.  Kembali membawa kecewa ia berlalu meninggalkan istri tercintanya.

Dengan berurai air mata lelaki itu menuju kamar si bungsu. Ia terkejut melihat sosok lelaki muda di kamar putrinya.

"Astagfirullah, Sasa apa yang kamu lakukan?" teriak lelaki itu.

Sasa tak peduli, gadis asyik bergumul dengan lelakinya. Ia berusaha memisahkan keduanya tetapi semua sia-sia. Ia tak lebih dari sekadar makhluk tak kasat mata. Berkunjung hanya untuk meminta sebaris doa untuk keringanan dosanya. Namun ia kecewa, jangankan mendoakan, mengingat dirinya rasanya tidak. Anggota keluarganya, hanya sibuk dengan dunianya masing-masing.

"Wina istriku, Burhan anakku, taukah kalian apa yang dilakukan adikmu Sasa ini?"

Ia menangis tersedu-sedu melihat perilaku anak istrinya. Kunjungan kali ini kembali ia menuai kekecewaan.

Hingga menjelang pagi ia menunggu. Namun tak satu pun yang teringat dan mendoakan. Semalaman kunjungannya hanya menuai penyesalan. Harta yang diwariskan tak berguna. Hanya menambah deretan panjang catatan dosa.

Lelaki itu menatap nanar ke rumah mewahnya. Kemudian, ia berteriak sambil menangis pilu.

"Wahai keluargaku! Wahai kerabatku! Wahai anakku! Wahai orang-orang yang tinggal di rumahku! Wahai orang-orang yang memakai bajuku! Wahai orang yang membagi hartaku!" teriak lelaki itu memecah keheningan.

"Adakah seseorang yang masih mengingat dan memikirkanku di pengasingan?" Suara lelaki itu membentur dinding tembok dan berbalik ke dirinya. Hingga hanya dirinya yang mendengar.

"Aku berada dalam penjara yang lama dan benteng yang kokoh. Kasihanilah aku, maka Allah akan mengasihani kalian semua." Lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.

"Janganlah pelit kepadaku sebelum kalian mengalami sepertiku. Wahai hamba Allah ... kesejahteraan yang ada pada kalian adalah berasal dari tanganku. Aku tidak menginfakkan di jalan Allah dan hisab juga pertanggung jawabannya ada padaku, tetapi manfaatnya diperoleh orang lain." Semakin malam, suara lelaki itu semakin lantang. Namun teriakannya serupa karbondioksida yang diembuskan pepohonan. Hilang lenyap bersama kabut malam.

Hingga menjelang pagi lelaki itu berteriak-teriak. Dengan penuh penyesalan dan kehampaan. Seiring cahaya matahari yang semakin terang tubuh lelaki itu semakin mengabur dan perlahan menghilang bersama kabut tertiup angin.

Tamat

Mutia AH

Ruji, 5 Mei 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun