Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Membaca "JdMNdH", Membaca Lukisan "Tanpa Celana"

15 Agustus 2020   19:47 Diperbarui: 15 Agustus 2020   21:44 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akan kusampaikan kepadamu bagaimana Allah menciptakan manusia/ Dia mengembuskan ke tanah asal kejadiannya napas-napas cinta/ Kusampaikan kepadamu mengapa planet beredar pada garis edarnya/ Itu karena singgasana-Nya diliputi pancaran cinta/ Kusampaikan kepadamu mengapa angin pagi berembus segar/ Itu karena ia ingin bangun mengecup kembang-kembang cinta/ Kusampaikan padamu mengapa malam terangkai/ kegelapannya karena ia mengajak kita berdoa/ di pembaringan cinta/ Kujelaskan padamu semua teka teki wujud/ Jawaban setiap teka teki tak lain kecuali cinta.

Menceritakan sosok "aku" yang lekat dengan potret Alfin Rizal tentang pengembaraannya mengenal Jogja, menarik praduga pembaca terhadap Si Penulis—yang kebetulan tinggal di kota yang sama. Uniknya, Alfin selalu memiliki 'jadwal'-nya sendiri untuk menyamar atau berterus terang perihal dirinya: "Ketika aku menulis ini, aku hanya ingin membiarkan pikiranku menyusuri tiap kelok sudut kenangan semampuku". Dan Jogja, barangkali, adalah salah satu simbolnya.

Sosok Edoy—teman barunya yang karib itu terasa lebih 'dekat' dibanding jarak tempuh Jogja ke kampung halamannya. Lebih lincah daripada ketika menggambarkan pernyair Makassar berkacamata, kafe dengan pisang goreng gratis yang berlaku setiap hari, atau kemungkinan lain tentang Iwan yang sebagian darinya adalah dirinya sendiri. Lewat perantara Mas Eko—penyair dari ibu kota itu cukup mengambil peran sebagai kawan laiknya Iwan. Meski saya mengantongi keyakinan yang sama dengan penulis, aku tak pernah tahu apakah ia sedang berbohong atau mengatakan kebenaran.

Membuka bab 15 hingga sepeninggal ibu seolah mengunjungi ingatan perihal "Kesengsem" yang memuat sajak Tangisan Selatan Yogyakarta, bahwa kembalinya aku pada rumah/ tak sedikitpun kubawa bingkisan kata menyerah. Ibu, selalu menjadi jawaban ketika seseorang bertanya, Siapa rumahmu? Saya rasa, penulis sepakat saat jemarinya menulis, "...pintu ibu nyaris tak pernah ditutup untukku."

Seperti sebuah rumah yang menampung banyak ruang, Alfin Rizal berniat memperkenalkan satu per satu ruang yang ia miliki. Tentu kita tahu, untuk mengenal satu ruang, banyak kata-kata berhamburan ketika megupas habis kursi, lantai, meja, serta dekorasi hingga hiasan dindingnya. Sekali lagi, aku pandangi seisi ruangan. Berbaris-baris muka menahan duka, terkutuk jadi kepala yang menunduk.

Kembali kepada arus cerita—kehadiran Lira di masa lalu telah usai, mengantarkan cintanya kepada cinta yang baru bersama Tania. Sama halnya ketika tiba-tiba sosok ibu hadir bersama peristiwa masa lalunya didampingi suami terkasih, memiliki calon bayi, hingga kecelakaan nahas merenggut nyawanya—umpama halaman belakang rumah. Hanya ada jemuran dengan pakaian menggantung menunggu kering ketika disandingkan dengan inti kisah saat penantian panjang dengan seseorang yang dicintainya: Tania.

Menyoal ruang tamu, obrolan tentang halaman belakang rumah menjadi minim perhatian. Namun akan menarik ketika ruang tamu sengaja dipindahkan ke halaman belakang rumah. Ini bukan perkara muskil seperti kemunculan Gita yang terkesan mendadak membuat kedekatannya dengan tokoh utama seakan hilang rasa. Tak disangka, Gita pun membawa berita kurang menyenangkan tentang Tania—yang menurut sepengetahuan pembaca keduanya belum saling mengenal—sehingga saya sepakat bila kenangan ibarat ombak, cerita-cerita dalam novel ini adalah suara deburnya.

***

Pada akhirnya, saya merasa banyak hal yang masih ingin disampaikan Alfin melalui buku ini usai melahap perlahan bagian demi bagian. Rasanya seperti memakan kue tar dengan topping beraneka rasa. Pun, tiap pembaca saya rasa mampu mengenali scene favoritnya masing-masing dengan jerit legit, "Duh, ini aku banget!" Toh bila tidak, saya menanam keyakinan untuk tetap menikmati novelnya yang puisi ini. Uhuy!

Sampai di lembar paling khidmat, halaman 246—saya seperti diajak berkunjung ke sebuah pameran lukis Tugas Akhir-nya (penulis) di penghujung Juli lalu. Menduga-duga lukisan Tanpa Celana yang dialihwahanakan menjadi figur lelaki 'tampan' itu adalah potret asli tokoh utama—yang bagian lain tubuhnya terpampang manis sebagai sampul. Sampai di bab terakhir, hanya ada bayangan lelaki berpakaian serba putih—'biru'-nya termangu usai menulis surat untuk kekasihnya. Kemudian bersabda, "Kini aku hanya ingin membiarkan cintaku pergi dengan bahagia sebagaimana dulu aku membiarkan cintaku datang dengan bahagia."

Malam baru saja menyerahkan mimpi. Pagi tak merebut apa-apa. Kita pun tak perlu meributkan apa-apa. Ya, tak ada yang mesti diributkan, memang. Hanya boleh ada senyuman mengembang di pipi saat membaca lagi novel ini. Dan sisanya kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun