Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Izinkan Aku untuk Tidak Mencintaimu

20 September 2020   21:40 Diperbarui: 13 November 2020   14:09 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu pasti ingat.
Dulu kita berdua pernah menjadi sepasang monyet
Ketika jam istirahat kita bersandingan dalam naungan pohon rambutan

Aku membawa satu plastik orson rasa jeruk dengan dua batang sedotan
Untukku yang warna biru dan untukmu yang berwarna ungu.
Sedangkan kamu membawa satu plastik keripik singkong rasa ori buatan Mak lekhan
Aku makan dua keripik perdetik dan kamu makan satu keripik perdetik.
kita tertawa renyah mengabaikan belalang sembah yang sedang khusyuk beribadah. 

Angin berhembus agak besar ke arah kiri.
Rambut panjangmu ikutan tergerai ke sebelah kiri.
Sementara rambutku tetap gagah berdiri.
Kenapa angin tak menggoyahkan rambut kiplimu? Tanyamu iri.
Aku rutin melumuri rambutku dengan minyak tancho, Tuan Putri.

tawa kita kembali renyah sampai belalang sembah memutuskan diri berhenti ibadah.

Di belakang sekolah, dalam naungan pohon rambutan, angin berdesiran, memdang hamparan sawah bawang merah yang merekah.
Saat itulah aku dan kamu menjadi sepasang monyet yang mengikat ekor-ekornya dengan simpul cinta yang indah.

Kau juga pasti ingat.
Dulu kita berdua pernah menjadi sepasang kera
Ketika itu jarak yang berjauhan membuat dada kita penuh dengan kerinduan.
Sedetik pertemuan sekedar angan-angan yang tak kunjung diwujudkan.

Dari Semarang aku mengirimkanmu kupu-kupu untuk memanggilmu
Dari Surabaya kau mengirimkanku kunang-kunang untuk menyahutiku
Aku bercerita tentang tugu muda dan Simpang lima
Kau bercerita tentang tugu pahlawan dan Ibu Risma
Haru dan tawa kita menggema lewat aksara dan suara.

Di antara Semarang dan Surabaya, dalam naungan kos-kosan, kipas angin berdesiran, memandang langit-langit gypsum yang bolong.
Saat itulah aku dan kamu menjadi sepasang kera yang kehilangan ekor-ekornya melolong bersahutan mengungkapkan rindu dari kejauhan.

Aku berharap kisah monyet dan kera itu berlanjut dan takkan kau lupa
Namun setelah kau menjadi manusia, kini tak kudengar lagi tawa renyah dan rindu harumu itu

Kau sibuk dengan dunia barumu, kau sibuk dengan kekasih barumu
Mungkin sudah saatnya aku berhenti berharap kenangan itu dapat terulang kembali
Dalam kesempatan ini, Izinkan aku tidak mencintaimu lagi.
Terima kasih. Aku pamit undur diri.

dari: Aku yang sedang berusaha menjad manusia.

Puisi ini pesanan dari Pak Sigit Eka Pribadi (Keripik singkong)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun