Minggu lalu, kami sekeluarga berjalan santai di Car Free Day (CFD) Depok. Areanya kini diperluas---tak lagi hanya membentang di sepanjang Jalan Margonda, tapi juga merambah ke Jalan Arif Rahman Hakim. Total jarak tempuhnya kini sekitar 4 kilometer. Cukup melelahkan, terutama bagi kaki-kaki kecil yang baru saja belajar menikmati ritme dunia.
Anak saya yang kecil, baru berjalan sekitar satu kilometer, sudah mulai mengeluh capek. Tapi semua berubah ketika saya menunjuk ke depan dan berkata, "Dek, itu ada Tung Tung Sahur!" Seketika, rasa lelahnya lenyap. Ia tegap berjalan mendekati sosok berkostum coklat yang sedang memegang pentungan yang juga berwarna coklat - ikon brainrot yang sempat viral di TikTok.
Di sebelahnya berdiri dua karakter lain yang tak saya kenal. "Kak, yang itu siapa?" tanya saya ke anak sulung. "Oh, itu Cappucino Assasino," jawabnya cepat, seolah hapal di luar kepala.
Ketika Anomali Menarik Kerumunan
Ternyata bukan cuma anak saya yang terpikat. Di sekitar para cosplayer itu, berkerumun anak-anak dan orang tua yang antre untuk foto. Tak ada tarif, hanya kotak infaq di samping mereka yang takjubnya sudah dilengkapi dengan kode QRIS. Sekilas, kotak infaq itu terisi setiap sesi foto selesai.
Saya tertegun. Para cosplayer ini bukan hanya sekadar ikut-ikutan tren. Mereka tahu persis gelombang apa yang sedang pasang, dan mereka berani berselancar di atasnya.Â
Mereka hadir di ruang publik yang tepat, dengan kostum yang sedang viral, menawarkan hiburan sekaligus membuka peluang rezeki. Ini bukan sekadar cosplay. Ini adalah strategi.
Riding the Wave: Seni Menangkap Momentum
Fenomena ini mengingatkan saya pada istilah yang sering dipakai di dunia digital: riding the wave. Para konten kreator paham betul seni ini.Â
Saat topik tertentu sedang viral---entah itu lagu, tantangan, atau karakter fiktif---mereka segera membuat konten yang relevan. Jika beruntung, masuk FYP, engagement melonjak, dan kanal mereka tumbuh pesat.
Riding the wave bukan tentang ikut-ikutan semata. Ia menuntut kepekaan, kecepatan, dan keberanian. Mereka yang terlalu lama berpikir, ketinggalan momentum. Mereka yang terlalu kaku, kehilangan relevansi.
Sudahkah Kantor Kita Belajar Berselancar?
Pertanyaannya: apakah kita juga bisa menerapkan teknik ini di kantor?