Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hingga Menjelang 2024: Jokowi, Arus Pemberitaan, dan Munculnya Para Jagoan

12 Agustus 2019   21:13 Diperbarui: 12 Agustus 2019   21:23 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah Jokowi-Maruf dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2019, kemudian beberapa bulan lagi akan dilantik, Menteri-menteri pembantunya akan diumumkan, dan semuanya tinggal bekerja memenuhi janji-janjinya, tibalah masa dimana rakyat kita, akan dijejali dengan pemberitaan dan informasi soal sosok-sosok --yang dianggap potensial-- untuk menjadi the next President, menggantikan Jokowi.

Jokowi sudah pernah berkuasa, dan akan melaksanakan periode keduanya. Bisa menjadi ajang pembuktian untuk memenuhi visi misi pembangunannya, bisa juga lebih santai bekerja karena tak perlu lagi citra dan tak akan nyalon lagi untuk periode selanjutnya. 

Tak jadi soal bagaimana tingkat kepuasan dan respon masyarakat arus bawah terhadap keberhasilannya, tapi yang jelas, sekian tahun lamanya, Jokowi selalu ketiban berkah: menjadi magnet pemberitaan dan darling bagi media-media nasional. 

Ia selalu menjadi titik epicentrum yang selalu disorot luar biasa, meski yang dilakukannya biasa-biasa saja, bahkan tak terlalu penting dampaknya.

Maka, suatu ketika, rakyat akan sampai pada titik jenuh. Rakyat memerlukan ruang informasi baru, clash of issues baru, tentang orang-orang baru yang dianggap lebih segar. 

Mungkin saja akan ada istilah-istilah baru sebagai efek dari dikotomisasi dan simplifikasi serampangan, sebab politik itu dinamis: yang bermusuhan, mungkin saja akan bersalaman; yang sebelumnya bersama mungkin juga akan menjadi lawan. Sebab sampai sejauh ini, politik terdegradasi lantaran hanya berbicara soal kepentingan dan pendapat(an).

Rakyat membutuhkan pemberitaan baru soal keberhasilan dan prestasi. Kita tahu, beberapa tahun belakangan, definisi prestasi dan pengakuan telah dimonopoli oleh pihak-pihak yang memegang kuasa. Mungkin saja pada titik tertentu, rakyat mulai mboh dengan Jokowi dan hal-hal yang belum selesai. 

Biarkan saja, toh, sampai 2024 ia akan tetap menjadi presiden. Tentu tak mungkin Jokowi tak jadi pusat pemberitaan, tapi setidaknya, akan ada selingan isu yang lebih segar; tentang orang-orang yang dipersepsikan akan disandingkan atau diversuskan di masa yang akan datang.

Inilah yang akan ditangkap oleh politisi, partai-partai politik, dan tentu saja media untuk mulai memperkenalkan jagoan-jagoan baru. Memoles sedemikian rupa untuk dipantaskan menjadi sosok proyeksi masa depan Indonesia yang paling diidamkan: menjadi raja maupun ratu. Mungkin saja kader partai, profesional, pemimpin kepala daerah, termasuk juga dari kalangan agamawan. Semua memiliki peluang, semua memiliki kesempatan.

Islami.co
Islami.co
Mungkin saja terlalu dini untuk berbicara soal kepemimpinan politik di masa yang akan datang, tapi setidaknya hal ini penting diketahui terutama ketika ditilik dari beberapa hal:

Pertama, bahwa kepemimpinan dalam politik tidak hanya berbicara tentang proses dan regenerasi, tapi juga soal momentum. Banyak partai mempersiapkan kader, tapi menjadi sia-sia ketika tak memiliki momentum. 

Keberhasilan Jokowi pun dipengaruhi oleh momentum: keinginan rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang (dicitrakan) berbeda, dekat dengan rakyat dan suka blusukan, tak ada radius dan jarak untuk bersentuhan, apa adanya, bukan lahir dari "rahim sultan" dan orang-orang besar, tapi sekaligus bisa bekerja dan mampu membuktikan kapasitasnya melalui kerja. Tak aneh ketika dulu tagline yang digunakan adalah "Jokowi-JK Adalah Kita".

Kedepan, kita akan banyak menemukan momentum. Kita akan bertemu dengan kejadian-kejadian yang akan membuat kita, seolah-olah, membutuhkan sosok tertentu untuk menyelesaikan segala permasalahan dan membuat Indonesia semakin maju. 

Momentum itu akan dipergunakan sebagai sarana testing voters untuk mengetahui sejauh mana elektabilitas dan penerimaan masyarakat terhadap sosok yang ditawarkan. 

Momentum itu akan dijadikan sarana testing the audience untuk mengetahui seberapa besar tepukan tangan atau justru sorakan yang didapatkan.

Belum lama ini sudah dimulai, soal Anies Baswedan dan Risma yang mulai digaduhkan, diversuskan, dan mendapatkan banyak keriuhan pemberitaan. 

Soal Jakarta dan Surabaya berubah seakan menjadi soal Indonesia. Dari situ kemudian melahirkan analisa kemungkinan keduanya bertarung di masa yang akan datang. Ada yang mengatakan Player 2 Has Entered, karena Risma diduga akan menjadi penantang Anies Baswedan selanjutnya. 

Risma akan "diangkut" ke Jakarta. Ada juga yang berpandangan soal kemungkinan Risma menjadi petarung di 2024 ketika harus diakui, PDIP sulit mencari the next Jokowi dan Risma adalah sosok yang relatif mudah diterima karena keberhasilan, kerja, prestasi dan integritasnya. Sementara Anies Baswedan juga mulai digadang-gadang, apalagi setelah bertemu dengan Surya Paloh, Ketua Umum NasDem.

Kedua, tahun 2024 akan menjadi the real fighting untuk memperebutkan kursi Presiden dan Wakil Presiden karena tidak adanya calon incumbent (petahana). 

Jokowi dicukupkan untuk dua periode sementara KH Maruf Amin sudah terlampau lanjut secara usia. Praktis semua calon nantinya adalah "orang-orang baru". Sangat mungkin sekali tidak akan ada lagi calon-calon "sepuh". Semuanya adalah sosok yang relatif muda, enerjik, mampu, dan berpengalaman.

Semua analist (termasuk para komentator yang menjadi ahli dadakan) memperkirakan akan terjadi persaingan ketat. Nantinya, sosok-sosok yang potensial akan diterawang. Berbagai kemungkinan dibenturkan. 

Formasi, komposisi, kombinasi akan disusun dan dipikirkan secara matang. Tentu saja oleh tokoh-tokoh politik yang kenyang pengalaman, lihai, dan memilih duduk manis memperhatikan situasi dan kemungkinan. 

Mereka adalah para King Maker, yang secara dalam memikirkan strategi pemenangan. Meski tak sering keluar kandang, tapi merekalah pemegang remote sesungguhnya.

Beberapa survey bahkan sudah merilis nama-nama tokoh yang patut dan layak diperhitungkan. Sebut saja seperti Anies Baswedan, Puan Maharani, Risma, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Khafifah, Zainul Majdi, Agus Harimurti, Anis Matta, Erick Thohir, bahkan ada nama Gibran.

Lamat-lamat juga terdengar suara Ahok disana. Sementara para ketua partai, meskipun memegang kendali, sepertinya hanya Cak Imin yang paling memungkinkan dan dalam banyak kesempatan memang terlihat paling ngebet. Mungkin saja Shohibul Iman juga akan turun gelanggang atau bisa juga Yusril ikut ambil bagian.

Dari kalangan purnawirawan, ada nama Gatot, Moeldoko dan Tito Karnavian. Ketiganya, relatif lebih diterima dibadingkan Luhut B. Panjaitan. 

Jangan lupa, ada nama Sandiaga Uno yang sudah terbukti dan akan menjadi rebutan. Lalu, mungkinkah Prabowo akan maju kembali atau memilih untuk memegang kendali? Semua hal mungkin saja terjadi, apalagi banyak analisa yang memungkinkan dirinya menggandeng Puan Maharani.

Tribunnews
Tribunnews
Maka beruntunglah mereka yang saat ini meiliki jabatan, posisi, ketokohan, dan jaringan. Setidaknya sudah ada modal yang patut dicitrakan. Mereka bisa memoles diri atas nama tugas dan pekerjaan. 

Semakin giat membangun kerja dan citra dengan jabatan, posisi, ketokohan, dan jaringannya, maka semakin besar ia memiliki peluang. Begitu pula sebaliknya.

Elektabilitas akan menjadi "dewa". Ia akan menjadi nilai tawar dan daya jual yang tinggi. Elektabilitas yang dipadu dengan dukungan partai, finansial melimpah, dan strategi yang matang akan "selesai urusan". 

Setidaknya secara hitung-hitungan. Banyak sekali orang pintar, hebat, dan berintegritas di negeri ini, tapi menjadi atau dijadikan Capres dan Cawapres bukanlah semata itu yang dipertimbangkan.

Jadi, hingga menjelang tahun 2024 nanti, kemungkinan terbesar yang paling memungkinkan bagi kita adalah munculnya selingan pemberitaan soal sosok-sosok yang berpotensi menjadi penerus tongkat estafeta kepemimpinan nasional. 

Popularitas akan didongkrak habis-habisan untuk sebisa mungkin dikonversi menjadi elektabilitas lalu dikapitalisasi menjadi dukungan dan suara. Rumit memang. Tapi itulah kerja politik yang sesungguhnya.

Mohon dimaklumi jika suatu waktu muncul tokoh-tokoh tertentu yang secara hebat diberitakan, dipertentangkan dengan tokoh tertentu, atau dikuliti habis pengalaman dan prestasinya. Itu adalah bagian dari "uji coba" pendahuluan; testing voters; testing the audience; "water test"; atau apapun namanya sebelum benar-benar "dirilis ke pasar". 

Tak apalah. Setidaknya itu sebuah keniscayaan ketika kita sepakat dan yakin, bahwa Pilpres tahun depan akan lebih menjanjikan dan harus menghasilkan pemimpin beneran. Dari Jokowi, arus pemberitaan akan bergeser pelan-pelan.

Nikmati saja!

Salam,
Mustafa Afif
(Hanya Kuli Besi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun