Mohon tunggu...
Mustam Arif
Mustam Arif Mohon Tunggu... lainnya -

Mustam Arif, rakyat biasa dan penikmat media, tinggal di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lewat Nama, Bugis-Makassar Kehilangan Identitas?

28 Juni 2010   04:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:14 7849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saban kali membaca atau menyimak profil tokoh atau figur dari etnis Bugis dan Makassar, di media massa, nama-nama anak mereka tak akan luput dari perhatian saya. Saya seolah menyaksikan generasi baru Bugias-Makassar kehilangan bagian dari identitas lewat nama. Betapa tidak, nama-nama anak mereka tidak lagi menjadi penanda bahwa mereka adalah generasi etnis Bugis-Makassar yang termashur itu.

Rata-rata generasi baru Bugis-Makassar memberi nama anak mereka dari perpaduan nama-nama populer di media massa. Meski sebagian masih menyadari pentingnya identitas itu pada suatu saat. Seorang sahabat saya Jumadi, dengan sadar menambah belakang namanya sehingga menjadi Jumadi Mappanganro, katanya untuk melestarikan identitasnya sebagai orang Bugis.

Tidak mengecualikan etnis lain di Sulawesi Selatan, Bugis dan Makassar direpresentasikan dalam tulisan ini, karena dua etnis ini terbesar, setelah Mandar berada di wilayah administratif Provinsi Sulawesi Barat.

Mengapa mesti nama? Bagi saya, ketika masyarakat dunia melebur dalam budaya global, puluhan tahun ke depan, nama bisa menjadi salah satu penanda identitas di mana orang itu berasal. Maka, beruntunglah etnis yang memiliki marga. Bila marga itu tidak tergerus perubahan, di mana pun berada di planet bumi, tetap menyandang identitas etnisnya lewat nama marga.

Hegemoni Arab-Islam dan Jawa-Sangsekerta

Melihat fenomena saat ini, saya memrediksi, suatu saat nanti, etnis Bugis-Makassar akan kehilangan identitas di tengah-tengah entitas pergaulan global. Mengapa? Pertama, etnis Bugis-Makassar tidak punya marga. Kedua, ada kecenderungan generasi Bugis-Makassar saat ini tidak bangga dengan lokalitas mereka, termasuk pemberian nama. Ketiga, ada kelatahan orangtua generasi baru Bugis-Makassar saat ini, cenderung memberi nama anak-anak mereka dengan nama-nama yang populer lewat media massa. Soal pemberian nama anak, orangtua etnis Bugis-Makassar saat ini, terpengaruh oleh hegemoniArab-Islam dan Jawa-Sangsekerta.

Padahal, meskipun tidak mengenal atau tidak punya marga, etnis Bugis-Makassar memiliki warisan kekayaan lokalitas penanda identitas lewat nama. Tetapi itu perlahan-lahan akan berubah dan sirna. Nama-nama generasi baru Bugis-Makassar, kalau bukan nama-nama yang populer lewat sinetron, nama-nama yang dirangkai dari pengaruh hegemoni Arab, Jawa, atau nama-nama barat yang dimodifikasi dengan terkesan menghindari kelokalan Bugis-Makassar.

Tak pelak lagi, misalnya pasagangan sumai-istri Tojeng Mappatoba-Andi Tenri Uleng Makkawaru yang demikian eksotis Bugis-Makassar, namun nama-nama putra-putri mereka justru nama baru, tidak sedikit pun menanda bahwa mereka adalah orang Bugias-Makassar. Nama-nama putra-putri mereka misalnya Suharto Perdana Putra Alfarizi, Fauziah Dwi Miska Puteri Azzahra, Dedy Tri Saputra Alamsyah Hardiyanto, Wiwik Precilia Ayu Ningsih. Nama-nama seperti ini, jelas tidak menanda bahwa anak-anak ini berketurunan Bugis-Makassar.

Kelatahan terhadap kultur pop dan hegemoni kultural di kalangan generasi baru Bugis-Makassar terlejma dalam pergaulan sehari-hari. Nama-nama khas Bugis-Makassar misalnya Besse, Ece, Aso, Ato, kerap menjadi olok-olokan di kalangan generasi Bugis-Makassar. Identitas etnis itu seolah-olah menjadi aib bagi generasi baru Bugis-Makassar. Demikian juga dalam bahasa keseharian. Generasi baru Bugis-Makassar mersa dirinya kuno jika berbahasa Bugis atau menggunakan Bahasa Melayu dialek Bugis-Makassar. Sebagian harus memaksakan diri berbahasa dialek Jawa atau Jakarta, meskipun kadang terantuk pada salah sebutan yang kerap disebut okkot.

Butuh ''Kekerasan?''

Dua bulan lalu, keluarga dari pihak istri saya, di Sinjai, sebuah kabupaten di wilayah selatan Sulawesi Selatan melahirkan seorang bayi. Anak ketiga ini seorang bayi perempuan yang didambakan setelah dua putra mereka lahir puluhan tahun lalu.

Tiga hari menjelang aqikah (ritual cukur rambut dan pemberian nama), ayah dan ibu bayi ini menelepon keluarga kami. Intinya, selain mengundang, mereka meminta saya untuk memberi nama bayi tersebut.

Saya tentu gembira. ‘’Akan saya bugiskan dia. Dia harus menyandang identitas Bugis lewat namanya, sekecil apapun nama itu,’’ saya membatin. Saya merasa punya kesempatan untuk berkontribusi mempertahankan identitas etnis bayi ini, karena dari jejeran keluarga ini, sebagian anak-anak mereka telah mengdopsi nama-nama Jawa yang justru mereka juga tidak tau maknanya.

Saya mengambil pensil dan secarik kertas dan mulai mencoret-coret. Lahirlah sebuah nama yang saya anggap sudah ada identitas Bugis-nya. Ada tiga kata. Kata pertama merupakan akronim dari nama ayah dan ibunya, Arika. Kata ketiga adalah Karunia karena saya anggap lahirnya anak ini merupakan karunia atau rahmat dari Tuhan, setelah puluhan tahun mereka menanti seorang anak perempuan. Kata kedua atau tengah, saya beri identitas Bugis yakni Telluati. Dalam bahasa Bugis, tellu artinya tiga sedangkan ati artinya hati. Jadi lengkapnya Arika Telluati Karunia. Menurut saya ini sebuah nama Bugis kontemporer, karena sudah berasimilasi dengan akronim dan bahasa Indonesia.

Kepada kedua orangtunya lewat telepon, saya menjelaskan arti nama itu tiap-tiap kata. Untuk kata telluati agak panjang penjelasannya. Kata ini mengandung filosofis dari makna kata tiga dan hati atau buah hati yang ketiga. Saya juga mengatakan ini menandakan dia orang Bugis. Identitasnya. Jadi suatu saat, meskipun dia di Amerika, di Arab, di Jepang, atau mungkin di kubub utara, atau di Papua, dia punya identitas dari namanya, bahwa dia orang Bugis.

Namun beberapa saat kemudian, kedua suami-istri ini menelepon kembali. Mereka meminta kata telluatidiganti saja triati atau tigahati, atau kalau bisa, mereka malah ingin menghilangkan saja. ‘’Jangan mi pake bahasa Bugis. Nanti malu-malu dia,’’ kata ibunya dalam dialek Sulawesi Selatan, artinya jangan menggunakan bahasa Bugis, karena anak itu akan malu di tengah-tengah pergaulan nanti.

Saya terkejut. ‘’Luar biasa! Ini tragis. Orang Bugis ‘membunuh’ kebugisan mereka,’’ saya membatin. Saya kembali menjelaskan dari berbagai dimensi. Tetapi, kedua orangtua anak ini terkesan kurang berkenaan putri mereka menggunakan nama dalam kata Bugis.

‘’Saya bukan orang Bugis, tetapi saya sangat bangga dengan Bugis. Kalau mau dihilangkan salah satu kata dari nama itu, jangan coba-coba kata telluati. Dua kata lain boleh hilang, tetapi itu jangan. Kalau tetap mau menghilangkan kata telluati, lebih baik cari nama lain, jangan pakai nama itu,’’ tegas saya dengan nada agak tinggi dan keras, dan mereka akhirnya menerima mungkin dengan berat hati.

Saya merenung sejenak, ‘’Ternyata, untuk memperjuangkan identitas butuh ‘kekerasan’?’’(mustam arif)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun