3. #BoikotTRANS7 dan Politik Modal Simbolik Pesantren
Gerakan #BoikotTRANS7 juga dapat dibaca sebagai praktik politics of symbolic capital (Bourdieu, 1991), di mana pesantren mempertahankan otoritasnya melalui konversi modal spiritual menjadi modal simbolik yang diakui publik. Dalam wacana ini, pesantren tidak hanya tampil sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai institusi moral yang berhak menegur media arus utama. Respon masif dari santri dan alumni menunjukkan bahwa pesantren masih memegang posisi dominan dalam struktur simbolik masyarakat muslim Indonesia. Proses ini menegaskan bahwa ruang digital telah menjadi arena struggle for recognition, tempat pesantren menegosiasikan posisi simboliknya di tengah dominasi media sekuler (Heryanto, 2020).
Dalam konteks politik budaya, gerakan boikot ini juga memperlihatkan reposisi pesantren sebagai aktor kultural yang menggunakan mekanisme publik modern untuk mempertahankan nilai tradisionalnya. Solidaritas digital yang muncul tidak hanya bersifat moral, tetapi juga politis---menggambarkan bagaimana pesantren berperan dalam membentuk opini publik melalui strategi komunikasi digital (Lim, 2024). Dengan demikian, #BoikotTRANS7 menjadi momen artikulatif di mana pesantren memperlihatkan daya tawar simboliknya dalam lanskap media Indonesia yang semakin kompetitif dan plural.
4. Digital Charisma sebagai Reproduksi Otoritas Kiai di Era Media
Dari fenomena ini, dapat disimpulkan bahwa digital charisma muncul sebagai bentuk baru dari legitimasi keulamaan yang berakar pada tradisi, tetapi beroperasi melalui logika media. Kharisma kiai tidak lagi hanya diwariskan melalui barakah dan sanad keilmuan, melainkan juga melalui algoritma visibilitas dan partisipasi digital. Dalam kerangka Weberian, ini dapat dibaca sebagai routinization of charisma di era jaringan---di mana otoritas spiritual dilembagakan kembali melalui format mediatik (Weber, 1978; Campbell, 2023). Namun, berbeda dari sekadar popularitas, kharisma digital kiai tetap mengandung elemen transendensi karena berakar pada moralitas religius yang diinternalisasi komunitas santri.
Reproduksi otoritas ini menunjukkan bahwa pesantren telah memasuki tahap baru dalam sejarah sosiologisnya: dari lembaga tradisional menjadi networked authority. Santri berperan sebagai mediator kharisma yang menjembatani nilai spiritual dan budaya digital, menjadikan ruang maya sebagai perpanjangan dari halaqah (lingkaran belajar). Dalam konteks ini, gerakan #BoikotTRANS7 bukan hanya bentuk protes moral, tetapi juga afirmasi terhadap keberlanjutan tradisi otoritas Islam Nusantara dalam ekologi media yang berubah cepat. Digital charisma menjadi bukti bahwa kharisma religius dapat bertransformasi tanpa kehilangan substansi spiritualnya, bahkan memperluas cakupan pengaruhnya melalui solidaritas dan partisipasi digital.
Penutup
Tulisan ini menegaskan bahwa gerakan #BoikotTRANS7 bukan sekadar ekspresi kekecewaan santri terhadap media arus utama, melainkan manifestasi dari reartikulasi otoritas religius di era digital. Melalui analisis fenomenologis dan wacana digital, tulisan ini menegaskan bahwa figur kiai dan komunitas santri berhasil mengadaptasi kharisma tradisional ke dalam format partisipatif dan interaktif, tanpa kehilangan sakralitasnya. Transformasi ini menggambarkan proses routinization of charisma (Weber, 1978) yang terhubung dengan logika mediasi modern, di mana otoritas spiritual tidak lagi ditopang semata oleh relasi fisik dan sanad keilmuan, tetapi juga oleh kehadiran dan legitimasi di ruang digital. Dengan demikian, ruang virtual berfungsi sebagai arena baru bagi produksi, reproduksi, dan negosiasi makna religius di tengah perubahan ekologi media.
Daftar Bacaan
Abdurrahman Wahid. (2001). Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi. The Wahid Institute.
Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Harvard University Press.