Seuntai cerita tanah bulaeng
Â
Lamunaku Terbuyarkan
   Lamunanku terbuyarkan oleh suara yang menggema, memekikkan telinga. Itu adalah suara klakson yang terngiang-ngiang di telinga. Terdengar juga suara orang yang berteriak, "Minggir woy!! Kau pikir ini jalan nenek moyangmu?" dari seorang pria paruh baya yang bertubuh gempar sambil mengayunkan kakinya dari truk yang bermuatan kayu. Sambil kuperhatikan dari arah berlawanan, bapak tua yang mengendarai motor bututnya tersenggal-senggal nafasnya sambil menuntun motor itu. Ku seruput kopi sambil menghela nafas. Ya, pemandangan seperti ini memang sudah biasa, banyak truk mengangkut kayu dari gunung. Truk itu membawa muatan kayu yang akan dikirim ke luar pulau Sumbawa.  Aku hanya terdiam sembari menutup pintu kayu yang telah usang dimakan rayap, sambil kututup telinga, tak ingin terlibat dengan bos-bos truk itu.
   Namaku adalah Muhammad Qomaruddin, biasa dipanggil Qomar atau Omar.  Aku adalah pria lajang usia 30-an, asal Desa Lantung, yang sehari-hari kuhabiskan untuk menyemai kebun kecil tepat di belakang rumahku. Aku bukanlah orang yang berpendidikan karena akses ke sekolah yang sangat minim dan harus merawat bapak yang sakit-sakitan pada waktu itu. Bukan aku saja yang tidak beruntung, melainkan aku adalah salah satu dari anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Ya, ibuku meninggalkan kami tak kala mengetahui bapak yang tak bisa sembuh dari penyakitnya. Terdengar dari dalam bilik suara adu jotos antara bapak tua tadi dengan bos truk. Bapak tua meraung kesakitan sambil memperbaiki sarungnya yang telah berantakan. Kamu tahu kan, akibat dari melawan bos truk, bahkan aparat setempat juga merinding ketika disebutkan nama bos truk itu.Bukan tanpa alasan, bos truk itulah yang membantu memperbaiki akses jalan, yang dimana terjadi kesepakatan antara pejabat setempat dengan bos truk, yang membuat bos truk bisa dengan leluasa mengelola hutan tanpa ikut campur tangan pemerintah setempat. Tentu ini adalah tindakan ilegal, namun disembunyikan oleh pejabat setempat.
Harapan Sirna Hadapi Problematika
   Kembali ke rutinitasku, kebun yang kusemai dengan sayur mayur mulai memunculkan setitik harapan untuk penyambung hidup. Selain menanam sayuran, aku juga terkadang mencari madu hutan untuk kujual ke Sumbawa.  Maklum, Desa Lantung terkenal dengan madu hutannya, bahkan terkadang diekspor ke luar pulau Sumbawa, seperti ke Lombok dan Jawa.Tatkala istirahat siang sambil ditemani radio butut peninggalan ayah, ya, ayahku meninggal karena penyakit yang di deritanya, tepatnya meninggal karena kerinduan yang sangat terhadap pujaannya, ibu yang meninggalkan kami entah kemana. Terdengar dari radio yang suaranya sudah mulai soak, berita tentang rakyat Desa Lito yang kampungnya tenggelam oleh banjir bah, mengakibatkan puluhan rumah tenggelam, ternak yang hanyut, serta sawah-sawah gagal panen yang disebabkan terbawa arus banjir. Oh iya, Lito adalah desa yang berada lumayan jauh di bawah Desa Lantung, namun walaupun jauh tapi posisi desa Lito tepat di bawah desa Lantung, mengakibatkan desa Lito dapat banjir susulan ditambah airnya berasal dari satu aliran yang sama dengan desa Lantung.  Banjir yang terjadi di Desa Lito semakin menjadi-jadi, dan tahun ini lebih banyak menelan korban jiwa serta kerugian material.  "Para pendengar Kabupaten Sumbawa yang budiman, Innalilahi wainnailaihi raji'un, Allahu Akbar, berita duka datang dari Desa Lito, banjir bandang hanyutkan puluhan rumah warga setempat serta ternak dan sawah, mengakibatkan kelumpuhan ekonomi serta listrik untuk akses desa Lito. "Lemo mo sanak selaki tu tulong sempu, saudara tu ta, bau sia bantu dengan cara kirim donasi ke rekening kami, Radio Samawa: 1280827456143," kata penyiar radio.  Informasinya sangat cepat menyebar. Ibu-ibu mulai sibuk bergosip tentang bencana tersebut. Aku yang tak suka dengan keributan suara ibu-ibu, kembali bergegas menuju dalam rumah, hingga tak memberikan kesempatan pada mereka untuk bertanya sekadar basa-basi tentang bencana tersebut. Itu karena mereka sering menghina dan menghibah keluargaku.
  Aku yang tak paham akan pendidikan dan kurangnya ilmu tentang alam, menganggap bencana yang terjadi sepenuhnya adalah bencana alam yang lumrah terjadi. Tidak ada terbesit di hatiku bahwa itu disebabkan oleh sesuatu yang berbeda.Kembali di pagi hari, ditemani dengan embun pagi, tiba-tiba nafasku mulai tersenggal-senggal. Entah kenapa, tatkala akses jalan telah diperbaiki, saluran nafas dan seringnya sakit-sakitan dialami oleh warga setempat. Bukan aku saja, ya, rata-rata mereka juga merasakan hal yang sama. Informasi itu kudapatkan ketika sesekali mendengarnya tatkala berkumpul dengan sesepuh kampung. Ku perhatikan tanamanku yang agak menguning, muncullah praduga yang mengkhawatirkan. "Ya Allah, masa mati lagi?" ucapku geram. Bagaimana tidak, sudah dua kali terakhir tanamanku mati. Untung saja, masih ada madu hutan yang dapat kujual, walaupun tidak sebanyak tahun terakhir, sekarang madu hutan lumayan susah ditemukan.
Sakitku Memuncak
  Terdengar suara dari toa masjid, "Innalilahi wainnailaihi raji'un, ka bilin tu leng fulan bin fulan Ita jam 4 subuh (telah berpulang ke Rahmatullah Fulan bin Fulan jam 4 subuh tadi)." Selang beberapa menit, terdengar lagi suara seperti yang tadi, "Innalilahi wainnailaihi raji'un, ka bilin tu leng abe' Cidin, (Abe adalah panggilan untuk orang yang sudah sepuh atau tua), beliau adalah bapak tua yang menuntun motor bututnya, yang berduel dengan bos truk pada waktu itu."Â
Aku yang sedang memegang perutku yang sakit dan nafas yang mulai kambuh, mulai berpikir, "Mungkin tak lama lagi namaku akan dipanggil," ucapku dalam hati. Penglihatanku mulai memudar, akibat sesak nafas yang semakin memuncak membuatku kehilangan kesadaran dan tersungkur. Di saat itu aku tak bisa meminta bantuan, karena kurangnya keakraban dengan tetangga, mengakibatkan mereka juga jarang menyapaku.Entah sudah berapa lama, aku tak sadarkan diri, tiba-tiba aku terbangun dan mencoba membuka kelopak mata yang terasa berat. Ternyata,pada saat pingsan, tetangga yang selama ini sering menghina keluargaku datang ke rumah untuk meminta madu untuk dijadikan obat untuk anaknya yang sakit-sakitan. Ya, walaupun mereka suka menghina keluargaku, aku tetap berbaik hati kepada mereka dengan memberikan sedikit madu dari hasil pencarianku. Aku hanya malas berbincang-bincang terlalu banyak dengan mereka, karena mereka tidak hanya menghina keluargaku, tapi selalu bertanya, "Kapan kamu menikah? No kengila' ke umer mu ke (tidak malu sama umurmu)?" Itulah ucapan yang membuatku risih. Bayangkan saja, bagaimana batin ini tersiksa? Tapi Alhamdulillah, tetangga yang selama ini menghinaku, kali ini dia berhasil menyelamatkanku, ya pastinya karena takdir Allah. Â "Bu, nonda uang kaji tawa bayar obat ta (Bu, saya nggak punya uang untuk bayar berobat)," ucapku dengan suara lirih. Â "Man tomas kau ee (sudah jangan berisik), ini pemerintah yang bayar."
  Terdengar suara TV rumah sakit yang tak jauh dari ruangan perawatanku, berita tentang penangkapan pejabat dan bos truk yang menggelapkan dana pemerintah pusat untuk akses jalan dan penutupan tambang ilegal serta area penebangan liar. Dalam penyiaran berita di TV, terdengar juga bahwa banjir yang mengakibatkan Desa Lito terkena dampak yang sangat besar, itu adalah akibat dari penebangan liar yang mengakibatkan pada musim hujan dengan curah hujan yang tinggi tidak dapat tertampung dan terbawa arus hingga menenggelamkan desa Lito. Ditambah dengan adanya penambangan emas ilegal yang dilakukan oleh bos truk, air tercemar dengan merkuri yang sangat tinggi, hingga menyebabkan air sumur dan sungai di Desa Lantung tercemar. Ternyata juga, bos truk bukanlah orang sembarangan, melainkan tangan kanan dari suruhan yang katanya di TV masih tahap penyelidikan. Di TV juga mengabarkan bahwa semua yang terlibat dalam kasus tersebut juga dituntut untuk mengganti rugi kerusakan yang disebabkan oleh mereka, dan kabar gembiranya, para korban yang meninggal ataupun sakit yang disebabkan oleh banjir ataupun keracunan air, terutama di Lantung dan di Lito, diberikan insentif uang masa pemulihan.  Aku adalah salah satu penerima bantuan tersebut.
Laki-laki Boleh Menangis, Kan?
  Terdengar suara sesegukan, membuatku bangun dari tidur panjang dan letih. Kulihat wanita lanjut usia memakai kebaya yang terlihat cukup mahal. "Qomar, maafkan Ibu!" ucapnya, membuatku kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak, sosok yang meninggalkan kami apalagi meninggalkan bapak yang sakit-sakitan dan aku yang masih kecil, menyebabkan rasa benci yang dalam padanya. Aku tidak terlalu mengenalnya, mungkin hawa kota merubah penampilannya serta suaranya.
  Aku pun menangis tak terhentikan. Padahal usiaku sudah menginjak 30-an, tiba-tiba merasa seperti anak kecil. Sosok yang ku rindukan namun ku benci datang ketika aku sekarat seperti ini. Rasanya agak bingung untuk menyampaikannya. Lalu, beliau menceritakan bahwa beliau tidak meninggalkan kami tanpa alasan. Ibu pergi untuk merantau dan mengadu nasib ke negeri orang. Ibu kecewa kepada bapak, karena ketika mengetahui bapak selingkuh dengan tetangga yang sering menghina keluarga kami. Pergi adalah pilihan yang tidak terlalu buruk, bukankah begitu? Kabar tentang pengkapan bos truk dan pejabat setempat masuk hingga TV nasional,bagimana tidak ibuku langsung menghampiri rumah sakit yang dikerumuni oleh wartawan serta pasien dari Lantung dan Lito.
 Ibu datang ditemani dengan dua anak kecil yang masih SMP dan seorang lelaki lanjut usia juga. Ya, kau bisa tebak, ibuku menikah lagi. "Kau bisa melanjutkan pendidikanmu, Qomar," ucap lelaki lanjut usia sambil tersenyum padaku. Meskipun sudah lama tidak mengeyam pendidikan, aku tidak menyerah untuk kembali belajar. Karena aku tidak ingin hidup dalam kebodohan, buta hukum, dan wawasan yang sempit. Aku hanya mengangguk sebagai isyarat terima kasih.
"kisah ini dibuat hanya untuk menjadi pengingat bersama akan pentingnya menjaga alam serta menjaga tali silaturrahim" by Musmuliyadi Sumbawa,15 November 2024.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI