Ini cerita tentang anakku. Seperti kebanyakan teman sekampungnya, saat usia tujuh tahun ia masuk sekolah dasar. Aku masih ingat sehari sebelum masuk sekolah, raut muka gembira seolah tiada habis terpancar dari wajahnya. Bisa jadi karena segala sesuatu yang diminta sudah kuturuti. Seragam, sepatu, kaos kaki, tas, buku, bahkan meja belajar semuanya baru.
Jam lima pagi ia sudah bagun. Tanpa disuruh ia mandi dan memakai seragam, sepatu, dan semua atribut sekolahnya sendiri. Padahal biasanya paling susah berurusan dengan bangun paginya. Selalu saja kami harus berdebat, dan ujung-ujungnya aku harus mengalah ; memenuhi permintaanya menggedong dari tempat tidur menuju ruang keluarga, menemani menonton tv, barulah ia mau mandi.
Hari pertama masuk sekolah ia langsung berbaur dengan yang lain. Tanpa canggung, tanpa harus ditunggui seperti teman-teman lainnya. Mungkin inilah pelajaran berharga yang didapat dari sekolahnya terdahulu waktu masih taman kanak-kanak. Sekolahnya dulu tergolong sekolah yang lumayan baik, bahkan kata orang-orang terbaik di kota ini. Tentu harus ada biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan layanan pendidikan di sana. Kurikulumnya bagus, sarana prasarananya lengkap, guru-gurunya masih muda, energik dan professional. Mungkin kesempurnaan itulah yang membuatnya betah berlama-lama di sana. Seperti di rumah sendiri katanya suatu saat.
Menjelang awal Juli, kami membeli rumah. Sengaja kupilih rumah di pinggir kota yang murah dan terjangkau . Gajiku sebagai pegawai swasta tidak memungkinkan mengambil rumah di tengah kota yang cicilannya sudah selangit. Karena itu aku juga takmungkin lagi menyekolahkan anakku di tempat yang dulu Akhirnya kuputuskan untuk mendaftarkannya di sekolah inpres yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari rumah. Disamping dekat juga gratis. Tidak mudah memang memahamkan keputusan sulit itu. Aku seolah mencerabut kenangan dan mimpinya bersama sahabat-sahabat lamanya. Rasanya juga taktega melihatnya sedih dan menangis karenanya. “Sabar nak, nanti kamu pasti punya temen yang lebih baik di sekolah barumu” kataku menghibur.
***
“Aku mau pindah sekolah Yah!. Ayah bohong, temenku tidak ada yang baik, semuanya jahat. Pokoknya aku mau pindah ke sekolah yang dulu” kata anakku sore itu. “ Ada apa sayang, coba cerita yang runtut. Ayah kan baru pulang kerja “ kataku pelan. “ Aku bosan di sekolah. Temenku nakal. Mereka suka minta-minta, suka mukul, dan suka berkata kotor. Bu guru juga diam saja kalau mereka nakal padaku. Dan yang paling tidak aku sukai, sekolahnya tidak seperti di sekolahku yang dulu. Bangkunya sudah pada reot, dindingnya penuh coretan, atapnya hampir ambruk. Panas, tak ada kipas angin apalagi AC. Benar-benar membuat aku tidak betah. Pokoknya aku ingin pindah. Aku ingin ketemu temen-temenku yang dulu” dia berteriak setengah menangis.
Kupeluk tubuh kecilnya sangat erat. Ia juga memelukku erat dan menangis sejadi-jadinya. Tak terasa aku juga menangis. Aku merasa sangat berdosa seolah membiarkannya terseok menyusuri masa depannya. “Sabar sayang. Justru karena ayah sayang sama kamu sehingga ayah memasukannmu ke sekolah itu. Ingat ini adalah kawah candradimukamu, Nak. Tempat penggemblenganmu untuk jadi anak yang kuat dan siap menghadapi zaman. Kelak ketika kamu dewasa tidak semua orang disekitarmu seperti peri dan malaikat. Mesti ada juga yang seperti teman-temanmu itu. Jadi bersabar ya. Hadapilah dengan senyum, tidak usah dilawan. Doakan saja agar gusti allah mengampuni dosa-dosanya. Percayalah nanti mereka akan sadar dan tidak mengganggumu lagi. Suatu saat kalau ayah sudah cukup uang kamu boleh pindah ke sekolah yang dulu” kataku lirih. Aku tidak yakin dengan kata-kataku. Tetapi hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan agar ia tenang dan terdiam. ———————————————————- Ngijo, 11 Oktober 2012
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI