Teluk Dalem, Lombok Utara. Alhamdulillah, tersampaikan juga niat saling meminta maaf dan bersilaturahmi di Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1446 Hijriah. Meski bertepatan dengan akhir bulan dan April Mop yang umumnya dilakukan per 1 April, sirkel terdekat saya melaksanakan momen bermaaf-maafan ya sewajarnya. Layaknya masyarakat kebanyakan.
Lalu, setelah itu apa?
Juga momen lanjutan yang jamak terjadi. Kembali ke rutinitas, menyiapkan perbekalan. Rapikan berkas-berkas dokumen untuk pekerjaan administrasi. Perlengkapan belajar untuk yang masih bersekolah. Awalnya hendak sedikit napak tilas jalur-jalur pendakian gunung Rinjani, ternyata kalah oleh semangat bersih-bersih sebagian sudut rumah. Atau sempat tersambar ide, ingin decluttering isi lemari pakaian besar-besaran.
Mengapa?
Selama bekerja sejak November lalu, praktis saya hanya membawa set baju mengajar sesuai aturan sekolah. Dua setel batik, dua setel atasan putih dan baju bebas rapi di hari Jumat. Menghindari terlalu banyak barang, sekitar 7 setel baju saya padu padan saban pekan. Akhirnya, puluhan baju lainnya, relatif nganggur ya selama 6 bulan terakhir juga. Sigh...
Persis seperti inspirasi pada judul yang saya ambil, di sekian tahun melalui momen bermaaf-maafan di lebaran, serasa menjadi manusia yang terlahir kembali. Sesempurnanya berikhtiar menjadi manusia versi terbaik, sejatinya manusia mustahil luput dari salah. Sedikit catatan hikmat yang semoga juga dialami kawan-kawan penulis Kompasiana lainnya. Diantaranya;
Pertama, hari yang fitri, atau fitrah. Lahiriahnya manusia, seolah kertas putih dan bersih tiada noda. Esensi hikmat ini, banyak dari kita biasakan berpikir positif. Saya, Anda, kita, telah sama saling memaafkan. Sepantasnya menghindari melakukan salah yang sama, pun yang lainnya. Sama juga berpikir serba baik, sebagian besar kita ke depannya mengikhtiarkan niat dan laku yang sama.
Kedua, dengan dasar sama-sama suci, sinergi melakukan apapun jadi turut terjaga bersihnya. Pekerjaan di rumah, di kantor, di kebun sawah, dan sebagainya, dimulai dengan semangat serba baru. Insya Allah.
Ketiga, dengan dua hikmat di atas saja, rasanya tak hendak berputus harap. Sikon negeri kita juga bisa semakin baik. Walau entah ini, saya pribadi pun kesulitan menemukan kisah inspiratif di sudut negeri yang pantas mewakilkan doa baik ini. Yang mudah saya ingat, Jumat 28 Maret 2025 lalu, laringitis memaksa saya kehilangan suara. Karena hari aktif bekerja terakhir, saya ijin ke Puskesmas desa Pemenang, di Lombok Utara. Bersabar sekian menit dengan antrian pasien lainnya, saya terkesan bahwa fasilitas kesehatan yang saya dapatkan benar-benar gratis. Syukurlah, berbekal kesan baik selama pelayanan di Puskesmas ini, juga obat-obatan, dua hari ini suara saya telah kembali dan hisa ngobrol dengan keluarga serta sanak di hari lebaran.
Kali lain, saya membaca di salah satu platform sosmed, sosok Sugianto. BMI yang bekerja di negeri ginseng, memutuskan menyelamatkan sekitar 60 warga satu desa yang sebagian besarnya lansia, menjaga mereka bertahan hidup dari dampak kebakaran hutan di desa mereka. Lansia yang bergerak sendiri pun sulit, digendongnya berlarian dan bergiliran ke area dekat pantai. Sungguh menakjubkan. Sungguh mengesankan.
Begitulah. Semoga, sedikit kilasan hikmat personal saya di atas, selaras dengan apa yang saya sebutkan sebagai 'Hari Terlahir Kembali'. Berdiri tegak, berniat serba baik, menjadi manusia-manusia terbaik versi kita masing-masing.
SemogaÂ
*Teluk Dalem, Lombok Utara, Selasa 1 April 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI