Mohon tunggu...
muhamad muslich
muhamad muslich Mohon Tunggu... -

Saya lahir di Kota Tegal. Saat ini saya tinggal di Bogor dan bekerja di Burung Indonesia www.burung.org. Tertarik pada bidang ekologi, lingkungan, dan pengelolaan sumberdaya alam.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Morotai: Telusur Jejak Perang Dunia II

6 Juni 2012   08:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:20 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu, Selasa (24/4), saya bersama dua rekan dari Burung Indonesia, Farid dan Salim, bertolak dari Wisma Salsabila menelusuri jalanan Kota Tobelo yang masih sepi menuju pelabuhan speed.Sebutir telur dan sepasang roti mewarnai sarapan kami pagi itu.Pelabuhan speed hanya selemparan batu dari wisma kami menginap, sehingga kami bertiga hanya berjalan kaki selama sepuluh menit menelusuri jalan dan pasar yang masih senyap.Pagi ini kami berencana mengunjungi Pulau Morotai yang terletak di arah utara Tobelo.Pulau yang akan dinobatkan sebagai tuan rumah Sail Indonesia Morotai 2012 berjarak kurang lebih 90 menit perjalanan dengan speed.

Mengunjungi Morotai berarti mengunjungi arena perang.Begitu setidaknya yang melekat dalam benak saya.Suasana pelabuhan belum begitu ramai, hanya ada sekitar 10 calon penumpang.Kami bertiga membeli tiket speed seharga Rp. 100.000 di loket di dalam pelabuhan.Pelabuhan sederhana ini dibangun dengan kayu dengan ruang tunggu yang tidak terlalu luas.

Calon penumpang terus berdatangan.Setelah kurang lebih 30 orang, mesin speed segera dinyalakan dan perlahan membawa kami membelah laut menuju Morotai.Sebagian besar penumpang mengantuk, sebagian lainnyaasyik mendengarkan musik dari smartphone.Sementara saya terus memandang birunya laut, membayangkan sebentar lagi akan berada pada situasi darurat perang di Morotai.Mendekati pulau Morotai, ratusan dara laut melayang diatas speed yang kami tumpangi.Sementara daratan utama Pulau Morotai dan pulau-pulau kecil di sekitarnya sudah tampak semakin jelas.Saya belum juga melihat ratusan kapal perang yang konon katanya berjejer gagah di sepanjang Dehegila (tanjung Gila).Suatu tanjung tipis yang menjelma seperti ekor pulau.

Setelah merapat di pelabuhan Daruba, kami pun langsung isi perut.Sarapan kami pagi ini ternyata tidak cukup menganjal perut lebih lama lagi.Hujancukup deras pagi itu menemani kami makan di sebuah warung dekat pelabuhan. Aroma mesiu belum juga saya rasakan, desing peluru belum juga saya dengar.

Mencari Ibu Hj. Fatma

Tidak banyak informasi yang saya punya sebagai referensi untuk menjelajah Morotai.Berbekal informasi dari internet GPRS melalui hand phone, saya menemukan informasi tentang cerita-cerita kunjungan ke Morotai.Beberapa artikel menyebutkan bahwa kalau ke Morotai dapat menginap di homestay Ibu Hj. Fatma yang punya budidaya mutiara.Kami berkeliling dengan bentor sekian lama, menelusuri jalan-jalan kota yang sedang dibangun di sana-sini.Ternyata tukang bentor pun tidak mengenal Ibu Hj. Fatma, maklum pengemudi bentor baru 6 bulan datang di Morotai.Akhirnya kami berkeliling kota mencari alternatif tempat bermalam.Dua homestay yang kami datangi tertutup pintunya dan terihat sepi sehingga membuat kami enggan turun dari bentor untuk mengecek.Kami tidak menemukan Ibu Fatma siang itu.

Kami kemudian menuju ke Pasific Inn, sebuah hotel yang katanya menjadi favorit menginap tamu pejabat yang datang.Sayang, hari itu Pacific Inn sedang full, menurut petugas hotel sedang ada acara kunjungan.Kami putar balik menuju sebuah penginapan bernama Morotai Inn.Sekilas penginapan ini bernuansa tampak baru, interior didominasi coklat dengan lapisan dinding menggunakan triplek halus.Kami harus merogoh kocek Rp. 250.000 untuk tiap malam yang kami lalui.Harga yang menurut saya masih terlalu besar untuk ukuran Morotai, namun bisa terbayar dengan suasana penginapan yang akrab dan asri.

Pada bagian belakang terdapat sebuah restoran yang cukup luas dengan nuansa alami, dibangun dengan kayu dan dihiasi ornamen biota luat seperti nautilus, bintang laut, dan aneka bentuk kerang.Restoran ini sangat familiar dan ramah, menawarkan suasana tenang.Kami juga bebas menyeduh kopi yang tersedia setiap saat di resoran itu.Sambil melepas kepenatan, kami merencanakan perjalanan hari ini.

Desing peluru perang

Mendekati sebuah bangunan rumah sederhana, deru pesawat tempur menggelora angkasa.Serdadu lintang pukang berseliweran di sekitar ku.Desing peluru berterbangan hampir-hampir mengenai tubuhku.Asap hitam mengepul disana-sini.Mungkin itulah suasana yang bakal saya rasakan jika berada di Morotai tujuh puluh tahun silam.Namun sekarang, ratusan selongsong peluru terjejer rapi, mengelompok sesuai ukuran.Helm baja berkarat terongok di pojok ruang mini ukuran 3 x 3 m.Aneka ukuran senjata anti-pesawat menghadapkan moncongnya ke angkasa.

Sekarang sejarah itu masih ada.Puing artefak masih sangat jelas terlihat.Adalah Muchlis, seorang pemuda yang menggerakkan tangannya bersama dengan kawan-kawannya untuk menggali, menyelam, mencari, dan merawat bekas-bekas perang dunia II.Hasilnya saat ini tercipta museum mini peninggalan perdang dunia II.Musium mini benar-benar mini dengan kondisi yang sangat-sangat sederhana.Sekilas tampak seperti barang rongsokan, tapi bagaimanapun juga nilai sejarah yang begitu besar tidak memudarkan aura kegagahan masa lalu.Muchlis, sejak sepuluh tahun lalu memulai pencarian berbagai barang peninggalan perang seperti senjata, bom, amunisi, bangkai pesawat, bangkai kapal, bangkai tank, juga peralatan medis dan peralatan makan.Tidak ketinggalan juga aneka botol minuman.Pria yang sehari-hari bekerja di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Ternate ini sumringah, perjuangannya mulai menuai hasil.Dalam waktu dekat, sebuah bangunan musium yang layak telah dibangun dan akan segera diresmikan.

Jembatan Pasir Putih

Matahari sudah persis diatas kepala kami.Melalui lorong permukiman di tepi pantai, kami berhenti sejenak di depan gudang kopra dan mencari apakah ada perahu ketinting yang sudi mengantar kami ke pulau pasir putih.Tak lama berselang, akhirnya ada satu ketinting yang dapat kami sewa untuk mengantar kami ke Pulua Dodola.

[caption id="attachment_181303" align="aligncenter" width="300" caption="Pulau Dodola yang menawan dengan pasir putihnya"][/caption]

Mesin perahu sudah meraung memekakan telinga saya.Total orang yang berada di atas ketinting berjumlah 5 orang.Jangan dibayangkan kami bisa duduk nyaman.Badan ketinting yang hanya setengah meter membuat saya harus duduk dengan menekuk lutut di dalam cekungan perahu.Perlahan-lahan ketinting meninggalkan kota Daruba membelah gelombang tipis lautan Morotai.Ratusan dara laut mengiringi perjalanan kami sambil terus bermain di angkasa.Betapa bersihnya laut ini, gumam saya.

Saya lepaskan pegangan dan mulai merasakan sejuknya air laut.Sesekali wajah diterpa deburan gelombang kecil, hingga basah di seluruh tubuh tapi saya begitu menikmati ayunan gelompong bibir lautan pasifik.Jemari aku celupkan ke dalam kesejukan biru tepian samudra pasifik.

Selama kurang lebih satu jam, kami sudah merapat di Pulau Dodola Kecil.Pulau Dodola terdiri dari dua bagian yaitu Pulau Dodola kecil dan Dodola Besar.Kedua pulau ini memunyai hamparan pasir putih yang dihubungkan oleh sebuah jembatan pasir putih yang sangat indah.Namun jangan salah, kalau air sedang pasang maka jembatan pasir putih pun tidak terlihat.Untungnya siang itu, air laut sudang surut, sehingga kami sangat takjub dengan hamparan pasir putih yang menghubungkan dua pulau.Saya berlarian, mengagumi keindahan ciptaan Allah S.W.T.

Segera saya ambil kamera dan mulai mengeksplorasi sudut-sudut terindah yang dapat saya abadikan.Saya berlarian girang merasakan tekstur pasir yang agak kasar tersebut.Di Dodola Besar telah dibangun resort dan shelter, termasuk dermaga.Menurut informasi, Pulau Dodola akan menjadi satu ikon dalam pagelaran Sail Indonesia Morotai 2012.Berbagai persiapan tampaknya sudah mulai dibangun.

Saya mengelilingi Dodola Kecil dengan cukup singkat.Hanya saja saya tidak menyempatkan diri mandi di airnya yang biru lagi bersih.Saya sudah cukup puas dengan berbasah-basah ria dan jeprat sana-sini.Pulau Dodola merupakan bagian dari Pulau Kolorai yang sudah dihuni oleh puluhan kepala keluarga.Menurut informasi, di Pulau Kolorai terdapat usaha pembuatan ikan asin dengan teknik yang cukup unik, yaitu membenamkan ikan di pasir.

Napak Tilas Jenderal Mac Arthur di Zumzum

Lepas dari Dodola, kami kembali melaju ke arah Daruba, kami akan mampir ke Pulau Zum-Zum, sebuah Pulau yang konon katanya menjadi lokasi komando Jenderal Mac Arthur merencanakan strategi perangnya.Maka tidak heran, tujuan kami adalah melihat situs patung Jenderal yang pernah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat Amerika Serikat pada 1930an.

Sangat berbeda dengan Dodola, Pulau Zum-zum di liputi oleh formasi mangrove yang pendek, dengan pohon kelapa yang cukup banyak.Sementara jalan setapak menuju situs patung diliputi oleh rumput, semak, dan kaliandra.Bisa dikatakan infrastruktur pendukungnya sangat tidak terawat.Pulau ini dapat ditempuh selama lima belas menit dari Kota Daruba.

Tibalah kami di depan tugu Mac Arthur, tampak beliau sedang sendirian menatap Pasifik.Entah apa yang sedang direnungkan.Mungkin Arthur sedang merencanakanpenyerbuan ke Filipina untuk menaklukan pasukan Jepang.

Kalau boleh berpendapat, tampaknya patung Mac Artur kuranggagah jika dibandingkan dengan foto aslinya.Bentuknya yang kusam dan tidak detail ditambah lagi dengan warna cat kuning krem yang mulai luntur di sana-sini.Sementara tugu peringatan dengan bola dunia di atasnya tidak menunjukkan sedikit pun informasi.

Kerajinan besi putih

Tidak diragukan lagi kalau Morotai adalah gudangnya pengrajin Besi Putih.Yang saya tahu adalah bahan pembuatan aneka perhiasan berasal dari besi sisa peninggalan perang dunia II.Jadi jangan salah apabila cincin yang kita pakai adalah dari sebuah selongsong peluru yang menembus dada serdadu Jepang.Atau sisa mortar yang menghancurkan barak dan bungker Jepang.BIsa juga badan pesawat tempur yang sedikit demi sedikit dipreteli.

[caption id="attachment_181304" align="aligncenter" width="300" caption="Pengrajin Besi Putih di Daruba, Morotai"]

13390415151084221646
13390415151084221646
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun