Jakarta --- Nama Karimata masih menggema di telinga para pencinta musik jazz-fusion Indonesia. Grup musik legendaris yang aktif pada 1986--1991 ini telah meninggalkan jejak penting dalam sejarah musik tanah air lewat lima albumnya yang memadukan jazz modern dengan nuansa etnik Nusantara. Meski era keemasannya telah berlalu, semangat Karimata tetap hidup. Buktinya, mereka masih aktif naik panggung terbaru tampil di Prambanan Jazz (5 Juli) dan dijadwalkan hadir dalam BRI Jazz Gunung Series I: Bromo pada 19 Juli 2025.
Kini, kecintaan terhadap Karimata diwujudkan secara konkret oleh komunitas penggemarnya, Sahabat KariB, melalui peluncuran buku "Lima Musim yang Berarti: Cerita Tentang Karimata". Buku setebal 222 halaman ini diterbitkan oleh ITB Press dan menjadi bentuk penghormatan kolektif terhadap perjalanan musikal Karimata.
Supergroup yang Melampaui Zaman
Karimata dikenal sebagai supergroup karena digawangi oleh musisi papan atas: Aminoto Kosin, Candra Darusman, Denny TR, Erwin Gutawa, dan mendiang Uce Haryono. Formasi drum kemudian sempat diisi Aldy dan Budhy Haryono.
Dengan musikalitas tinggi dan keberanian mengeksplorasi warna musik lokal, Karimata menciptakan jembatan antara jazz modern dan kekayaan tradisi Indonesia. Jejak mereka bahkan sampai ke panggung internasional seperti North Sea Jazz Festival.
Buku Kolektif, Lima Musim yang Penuh Arti
Buku ini digagas secara gotong royong oleh komunitas Sahabat KariB dengan kontribusi dari jurnalis dan pemerhati musik seperti Denny MR, Edo Musclive, Edy Suhardy, Abi Hasantoso, Burhan Abe, dan Frans Sartono.
"Ini kerja kolektif yang luar biasa. Bisa disebut sebagai ensiklopedia Karimata---padat, menarik, dan penuh makna sejarah," ujar Haryo K. Buwono, pimpinan tim penyusun.
Buku ini tak hanya berisi narasi sejarah, tapi juga dokumentasi visual eksklusif dari arsip pribadi para fotografer seperti Jay Subijakto, Andri Is, Omen Norman, Odi Auditya, hingga mendiang Didi Haju, manajer awal Karimata. Semua foto telah mendapatkan izin tertulis dari fotografer maupun ahli warisnya.
Dari Novel Gagal Jadi Buku Kolektif
Ide awal buku ini berasal dari Triawan "Babe" Koeshardianto, mantan manajer Karimata. Babe sempat menyusun buku ini dalam format novel, namun meninggal sebelum naskah rampung. Penulisan dilanjutkan oleh Ayu dari Yogyakarta, yang juga wafat sebelum menyelesaikan bab novel.