Keberadaan hukum laut internasional tidak selalu menjamin absennya konflik di wilayah perairan. Wilayah kedaulatan sebuah negara tidak hanya sebatas wilayah darat yang dapat dipijaki kaki manusia, wilayah kedaulatan sebuah negara juga mencakup wilayah perairan atau laut dan wilayah udara.
Di dalam perairan atau laut, tersimpan kekayaan alam sebagai salah satu sumber penopang kesejahteraan rakyat. Dan di atas awan, terdapat ruang untuk latihan angkatan bersenjata. Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982 dengan jelas membagi wilayah kedaulatan laut sebuah negara berdasarkan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), Zona Laut Teritorial, dan Zona Landas Kontinen. Di dalam kedaulatan laut, kedaulatan udara turut menyertai.
Indonesia ikut dalam barisan negara yang meratifikasi aturan tertulis tersebut dan dunia internasional mengakuinya. Namun aturan di atas kertas saja tidak cukup, kedaulatan NKRI ikut terusik. Pada tahun 2010, api konflik Laut China Selatan mulai menyala dengan adanya klaim sepihak China atas wilayah Laut Natuna Utara di Kepri.
China beralasan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah penangkapan ikan tradisional nenek moyang mereka. Kebiasaan leluhur dijadikan patokan tak berdasar. China melupakan asas-asas dalam UNCLOS 1982 yang bersifat mengikat.
Api konflik mulai membesar ketika kapal-kapal nelayan sipil dari China memasuki wilayah ZEE NKRI tanpa izin resmi pada tahun 2016. Tak berhenti sampai di situ, kapal penjaga pantai China juga ikut menyusul kapal-kapal nelayan mereka di tahun-tahun berikutnya.
Menurut pantauan dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), bukan hanya nelayan dan penjaga pantai dari Negara Tirai Bambu saja yang melanggar melainkan juga para ilmuwannya. Peneliti dari China tersebut diduga melakukan penelitian ilmiah secara ilegal di wilayah yang hanya berjarak sekitar 9 mil laut dari lokasi instalasi migas Nobel Clyde Bordeaux di Blok Tuna.
Indonesia tidak sendirian, China juga melakukan hal yang sama dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Kepulauan Paracel dan Spratly merupakan dua wilayah yang sampai sekarang diperebutkan antara China dengan Filipina, Vietnam, dan Malaysia (sebagian kecil kawasan di Spratly). Meski UNCLOS 1982 dengan tegas membagi wilayah tersebut berdasarkan kesepakatan internasional, China tidak menghargai keputusan sah tersebut.
China membuat pangkalan militer dan kerap kali berpatroli di sekitar kepulauan Paracel dan Spratly. Klaim China atas wilayah tersebut lagi-lagi berdasarkan pada wilayah penangkapan ikan tradisional mereka. China menyebut wilayah itu dengan sebutan Sembilan Garis Putus-Putus. Bahkan China membuat peta versi mereka sendiri.
Seperti kartu domino yang dijatuhkan akan mengenai domino-domino berikutnya, ketegangan juga merembet ke arah politik. Filipina, salah satu negara yang terlibat konflik, mengundang Amerika Serikat dan sekutunya untuk mengakses berbagai pangkalan militer Filipina. Undangan tersebut disambut baik oleh Amerika Serikat dan mengundang kemarahan balik dari China. Apalagi sejak perang dagang Amerika Serikat-China terjadi, kedua negara tersebut jarang sepaket dalam hubungan antar negara, ketegangan tersebut pun menyulut konflik yang jauh lebih besar.
John Mearsheimer, seorang ilmuwan bidang Politik dan Hubungan Internasional dari Amerika Serikat, memprediksi jauh-jauh hari tentang intensitas konflik Amerika Serikat dan China pada tahun 2005 silam. Menurut Mearsheimer, perkembangan ekonomi China yang melesat pesat akan menimbulkan kekhawatiran bagi China. China membangun dinding halaman belakang 'rumahnya' setinggi-tingginya untuk menjauhkan diri dari usikan Amerika Serikat dan sekutunya.
Mearsheimer menggunakan kacamata Neo Realisme, salah satu poinnya adalah tidak ada otoritas tertinggi dalam sistem internasional yang anarki. China merasa bahwa tidak ada otoritas pusat atau pemerintah dunia manapun yang berhak mendikte apa yang China lakukan atau akan ia lakukan di kemudian hari.
Sebagai negara yang menganut asas mendayung di antara dua karang, tidak etis jika Indonesia berdiri memihak di salah satu pihak seperti apa yang dilakukan oleh Filipina. Indonesia masih memiliki kesempatan menjadi katalisator konflik melalui organisasi regional ASEAN.
Peran Indonesia dalam ASEAN sangat dibutuhkan, mengingat sebagian besar negara yang terlibat konflik dalam pusaran Laut China Selatan adalah negara-negara di Asia Tenggara. Konflik di Laut China Selatan bukan lagi menjadi ancaman satu atau dua negara melainkan sudah menjadi ancaman kolektif. Cara menyelesaikannya pun perlu dilakukan bersama-sama, duduk bersama di satu meja yang sama.
Meski demikian, Indonesia mendapat rapor merah dalam momentum Keketuaan KTT ASEAN 2023. Hal tersebut disampaikan Rosyidin bahwa dalam momentum bersejarah tersebut Indonesia mengesampingkan kepentingan kolektif dan malah mengedepankan kepentingan nasional yang inward-looking berjangka pendek di bidang ekonomi dan pariwisata.
Kritik Rosyidin ini tidak sepenuhnya benar jika kita memosisikan ASEAN sebagai bagian terpisah dari definisi kedaulatan negara modern. Menurut Dieter Grimm dalam bukunya berjudul Sovereignty: The Origin and Future of a Political and Legal Concept, sebuah negara masih memegang monopoli kekuasaan yang sah meski ikut tergabung ke dalam organisasi-organisasi internasional. Akibatnya tak jarang negara-negara modern tidak patuh terhadap kesepakatan dalam organisasi-organisasi internasional.
Realitas Politik Internasional dan Bagaimana ASEAN Meminimalisasi Konflik Berkepanjangan
Jeratan realitas politik internasional yang mengesampingkan moral dan mengedepankan kepentingan nasional sebesar-besarnya adalah hambatan terbesar bagi ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut China Selatan.
Jika kita melihat Laut China Selatan dari sudut pandang Neo Realisme, meski itu adalah realitas yang sesungguhnya, kita akan sulit mencabut dengan kuat akar masalahnya. Setiap negara akan melindungi kepentingan nasionalnya masing-masing demi bertahan di dunia dengan sistem anarkinya meski harus mengabaikan aturan internasional.
Kegagalan Declaration of Conduct (DoC) yang sebelumnya disepakati bersama antara ASEAN dan China pada tahun 2011 menjadi alarm nyata. Code of conduct (CoC) atau kode perilaku dalam DoC yang dituangkan ke dalam perjanjian tersebut tidak sepenuhnya menyelesaikan sengketa teritorial dan yuridiksi. Tidak ada yang salah dengan perjanjian tersebut, hanya saja cara penerapan di lapangan jauh berbeda dari kenyataan di atas kertas.
Ketika Indonesia mengetuai KTT ASEAN 2023, code of conduct kembali digalakkan. Tujuannya masih sama yakni meningkatkan sikap saling percaya guna mendukung dan memelihara perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan. Lagi-lagi code of conduct masih sebatas perjanjian di atas kertas.
Setahun berikutnya, konflik Laut China Selatan kembali mencuat ke permukaan. Terjadi insiden yang cukup menegangkan antara kapal patroli penjaga pantai China dengan kapal logistik Filipina di Laut China Selatan di kuartal pertama tahun naga.
Indonesia, negara yang menjunjung tinggi moral dalam hubungan internasionalnya, memiliki kesempatan emas untuk menguatkan ASEAN sebagai aktor non negara yang mampu menyelesaikan konflik bertahun-tahun tersebut. Code of conduct ASEAN akan berhasil jika ASEAN menempatkan dirinya sebagai institusi dengan posisi tawar-menawar yang powerfull.
ASEAN tidak boleh menjelma menjadi organisasi regional yang mudah didikte oleh negara besar. Jakarta sebagai tempat bersinggahnya kantor pusat ASEAN, perlu memainkan strategi multidimensi.
Dekonstruksi Neo Realisme yang memandang pesimis dunia internasional perlu untuk dikaji ulang secara mendalam. Kita dapat melihat bagaimana kehadiran kelompok masyarakat, perusahaan multinasional, dan bahkan individu mampu berkontribusi dalam dinamika global. Hal tersebut bertolak belakang dengan teori Neo Realisme yang menganggap aktor non negara tidak punya kuasa apa-apa.
Realitas dunia bisa dibentuk ulang terutama di wilayah yang rentan konflik seperti Laut China Selatan. Indonesia melalui ASEAN perlu menggandeng aktor-aktor non negara sebagai bagian penting dalam mewujudkan perdamaian dan lebih tegas lagi dalam code of conduct.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI