Sebagai anak tunggal dan ayahnya sudah meninggal dua tahun silam, Santo akhirnya menyiapkan makanan sahur dan mengurus ibunya sendirian. Dia mengompres dan membuatkan ramuan herbal untuk ibunya.
"Mak, nanti pagi kita ke dokter, yah!" kata Santo lirih.
"Tidak, jangan bawa Emak ke dokter. Di sana sumbernya Corona. Emak cukup wudu saja, Insya Allah sembuh."
Santo geleng-geleng. Emaknya seperti kerasukan hantu yang tidak takut dengan virus Corona.
"Tapi, Mak, suhu tubuh Emak sudah melebihi batas normal. Santo khawatir, Emak terkena virus. Apalagi Emak ada penyakit bawaan."
"Kamu mau durhaka sama Emak? Kalau tidak, jangan bawa Emak ke dokter atau rumah sakit."
Santo pasrah. Dia pun memilih diam. Meski begitu, Santo masih menyuapkan makanan sahur untuk ibunya yang sebelumnya sudah disiapkan olehnya. Santo sudah cukup ahli dalam urusan masak-memasak semenjak ayahnya tiada. Dia sering ke dapur, membantu ibunya ketika kuliah daring dimulai. Alhasil dia pun ketularan jago dalam urusan masak.
Keesokan harinya, petir siang bolong menyambar tepatnya ketika Santo sedang mengerjakan tugas kuliah, dirinya mendapat kabar mengejutkan.
"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun, telah meninggal dunia, Ibu Sulis 45 tahun karena Covid-19." Begitu pesan berantai yang masuk ke grup keluarga arisan ibunya. Yah, ponsel pintar Santo masih barengan dengan ibunya. Jadi Santo bisa lebih mudah menemukan pesan dari teman-teman ibunya.
Tangan Santo gemetar hebat. Dia sesegera mungkin menghampiri ibunya. Kondisinya belum pulih semenjak sahur. Dia pun menelepon satuan tugas Covid-19 di daerah. Ada layanan jemput bagi pasien yang dikira kuat terkena Covid-19. Tak lama kemudian, ambulans datang.
"Mak, Santo memanggil ambulans bukan karena ingin durhaka, tapi justru Santo ingin berbakti, Mak!" ucap Santo yang pada waktu itu juga ikut dibawa ambulans.