Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Guru - M Musa Hasyim

Guru PPKn yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Nasib "Peace To Prosperity Palestina" Warisan Trump di Tangan Joe Biden

14 November 2020   15:42 Diperbarui: 16 November 2020   06:02 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yerusalem, Sumber: pixabay.com/coffee

Kemenangan Joe Biden untuk menjadi orang nomer satu di Amerika Serikat sudah berada di depan mata. Joe Biden mampu meraih electoral vote sebesar 290, sementara Donald Trump harus puas di angka 214.

Meski begitu, Donald Trump masih belum menyerah karena masih ada kesempatan baginya untuk banding ke Mahkamah Agung. Sementara itu, masyarakat dunia sedang harap-harap cemas terkait bagaimana arah kebijakan luar negeri Joe Biden di Timur Tengah khususnya di Palestina jika ia memimpin Amerika Serikat

Kebijakan luar negeri Trump di wilayah Palestina sewaktu masih memimpin bisa dikatakan cukup agresif dan sedikit mengabaikan solusi two state solutions. Setelah memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv menuju ke Yerusalem, masyarakat dunia mempertanyakan peran Amerika Serikat sebagai polisi dunia yang nyatanya hanya manis di mulut saja.

Trump menjanjikan Palestina dengan tawaran Peace to Prosperity di mana jika Palestina menyetujuinya maka kondisi ekonomi dan sosial Palestina digadang-gadangkan akan berangsur-angsur membaik.

Trump ingin membangun jalur bebas hambatan atau jalur kereta api cepat yang menghubungkan antara Israel dengan Palestina, dari Tepi Barat hingga Jalur Gaza. Jalan-jalan itu nantinya diharapkan bisa membantu roda perekonomian Palestina sehingga nantinya Palestina tidak hanya bergantung pada bantuan internasional saja.

Keinginan Trump ini menimbulkan pro dan kontra. Banyak yang menduga bahwa rencana ini akan melemahkan kedaulatan Palestina karena jalur penghubung nantinya dikelola penuh oleh Israel dan Amerika Serikat.

Dalam UN Partition Plan 1947 menyatakan bahwa wilayah nasionalisme Palestina terdiri dari Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur sedangkan kota suci Yerusalem dimiliki oleh komunitas internasional. Sisanya didaulat sebagai national home bagi bangsa Yahudi.

Jika merujuk pada UN Partition Plan, Trump telah menodai kesepakatan bersama itu. Ditambah lagi, Israel tidak mau berhenti dalam mempeluas wilayah kekuasaannya melalui aneksasi ilegal di sepanjang Tepi Barat. Maka tak heran, banyak yang pesimis akan rencana Trump ini karena bisa-bisa wilayah Palestina digerogoti sedikit demi sedikit secara halus melalui Peace to Prosperity ini.

Sebagai presiden dengan latar belakang pengusaha, jiwa-jiwa cuan sudah melekat dalam benak Trump. Tak heran jika Palestina di benak Trump merupakan sebuah kesempatan emas untuk memperluas pasar Amerika Serikat.

Di sisi lain, masyarakat dunia yang pro akan Peace to Prosperity berharap langkah Trump ini mampu membawa perdamaian di kawasan Timur Tengah. Apalagi dunia sudah sangat lelah dan jenuh mendengar konflik Israel Palestina yang tak kunjung mereda selama lebih dari setengah abad ini dan menjadi konflik terlama di abad modern.

Lantas bagaimana nasib Peace to Prosperity ala Trump yang disahkan Januari 2020 silam jika Joe Biden menggeser posisi Trump sebagai orang nomer satu di Negeri Paman Sam itu?

Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu membedah sedikit terkait keterlibatan Amerika Serikat di wilayah Palestina-Israel.

Bagi Amerika Serikat, Israel adalah titik poin penting bagi eksistensi Washington sebagai polisi dunia. Israel menjadi wilayah strategis bagi keberlangsungan transfer sumber energi bagi pabrik-pabrik raksasa di Amerika Serikat.

Mulanya Amerika Serikat tampil di Timur Tengah untuk menghalau kekuatan blok Timur komunis. Amerika Serikat pun menempatkan militernya di beberapa kawasan vital di Timur Tengah.

Setelah beberapa sumber energi ditemukan di Timur Tengah pada pertengahan abad 20, Amerika Serikat semakin enggan meninggalkan Timur Tengah karena wilayah tersebut dirasa sangat berharga.

Ditambah lagi, kelompok Zionisme Israel sudah berdiaspora ke beberapa belahan Amerika Serikat dan menjalin hubungan ekonomi yang cukup kuat dan penting bagi keberlangsungan industrialisasi atau iklim investasi di Amerika Serikat.

Lebih luas lagi, Amerika Serikat memiliki kepentingan tersendiri di Timur Tengah pasca peristiwa 9/11 meletus. Melalui kebijakan war on terrornya, posisi Amerika Serikat di Timur Tengah semakin jelas, yakni memerangi terorisme dan menghalangi rezim otoriter yang bisa saja sewaktu-waktu mengancam posisi Amerika Serikat di Timur Tengah, termasuk juga ikut mempromosikan demokrasi kebebasan ala Barat di Timur Tengah.

Entah siapapun presiden Amerika Serikat, Israel adalah wilayah strategis bagi Amerika Serikat untuk bisa tetap mengawasi dan mengamankan kepentingan Negara Pam Sam di Timur Tengah. Tentu saja, Israel dianggap sebagai teman yang paling dekat dan paling dapat dipercaya Amerika Serikat di Timur Tengah jika dilihat dari aspek historis dan ekonomi.

Husam Mohamad, dalam jurnal South Asian and Middle Eastern Studies 2019, mengatakan bahwa siapapun presiden Amerika Serikat, ia tidak akan bisa memalingkan wajahnya dari Israel begitu saja.

Sejauh ini, Jimmy Carter dianggap sebagai satu-satunya presiden Amerika Serikat yang mengungkapkan empati terhadap penderitaan rakyat Palestina dan membenarkan klaim mereka.

Meski begitu, Jimmy Carter tidak mampu membendung opini mayoritas dari warga Amerika Serikat yang pro-Israel. Ini mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia, hanya saja mayoritas warga Indonesia pro dengan Palestina dan anti terhadap Israel. Bahkan Presiden Gus Dur yang berencana membuka hubungan diplomatiknya dengan Israel dihujat habis-habisan mirip dengan Jimmy Carter, hanya beda pihak yang didukung.

Joe Biden pun tak jauh berbeda dengan pendahulunya Jimmy Carter yang sama-sama dari Partai Demokrat. Dalam kampanyenya, Joe Biden menentang langkah sepihak oleh kedua belah pihak yang merusak solusi dua negara. Joe Biden memang tidak bisa menafikan keberadaan Israel, Biden hanya mampu mengubah pendekatannya yang lebih soft.

Sebelumnya, Joe Biden juga menegaskan akan lebih mengedepankan Inisiatif Perdamaian Arab dengan melibatkan banyak aktor kawasan di Timur Tengah. Meski begitu, agaknya Joe Biden akan bernasib sama dengan Jimmy Carter. Joe Biden akan kesulitan menghadapi pendukung vokal Israel terutama dari pengusaha elit di Amerika Serikat yang memiliki keterikatan dengan Zionisme Israel, sehingga lebih bias ke Israel.

Peace To Prosperity Trump mungkin saja akan diubah dan mungkin juga akan diteruskan dengan wajah lain namun intinya tetap sama saja yakni Israel dan Amerika Serikat yang akan menerima keuntungan terbesarnya. Apalagi status Palestina masih di level observer state member.

Status Palestina akan kesulitan untuk naik level menjadi negara full mamber di PBB. Israel pun tidak ingin status Palestina naik level, begitupula dengan teman dekatnya, Amerika Serikat.

Ditambah lagi isu Islam ekstremis kembali memuncak di dunia Barat pasca presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa agama Islam sedang dalam masa krisis.

Macron berkata demikian setelah seorang guru dipenggal oleh muridnya yang masih remaja. Guru tersebut sebelumnya menunjukkan sebuah karikatur bergambar Nabi Muhammad kepada muridnya sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin undang-undang Perancis. 

Apa yang terjadi di Perancis mungkin saja menginspirasi Amerika Serikat sebagai negara yang sama-sama membebaskan warga negaranya untuk berekspresi seluas-luasnya. Kejadian ini pun membawa ingatan lama Amerika Serikat akan peristiwa teror di negaranya termasuk peristiwa besar 9/11.

Meski kita tahu bahwa seorang terorisme tidak hanya menyasar pada negara mayoritas non-Muslim saja, melainkan juga menyasar pada negara Muslim namun opini publik Barat sudah terkonstruksikan sedemikian rupa. 

Lalu apa implikasinya bagi Palestina? Faksi Palestina di Gaza, Hamas, akan tetap dianggap sebagai kelompok teror oleh Barat dan diabaikan dalam setiap perundingan.

Ini artinya, kampanye Joe Biden untuk perdamaian kawasan Israel-Palestina akan sedikit terhambat oleh opini publik Amerika Serikat karena masih sulitnya mereka menerima Hamas.

Jika Hamas diabaikan, bisa jadi ia akan terus menyerang Israel. Dan jika Israel diserang, tentu saja ia akan membalasnya. Dan pada akhirnya warga sipil yang tak tahu politik akan jadi korbannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun