Padahal pas membentuk kabinet pada 2014 silam, Jokowi melarang menterinya merangkap jabatan sebagai ketua partai. Keputusan itu dilanggar sendiri oleh Jokowi, mungkin karena munculnya desakan dari kanan dan kiri agar Jokowi segera mencabut perintah tersebut.
Yah, jejak digital memang kejam namun bermanfaat bagi kita sebagai masyarakat awam. Karena begitulah prinsip kerja dari partai politik kita yang masih belum begitu dewasa. Selama ada kepentingan golongan yang lebih menjanjikan, kepentingan bersama ditebas begitu saja.
Bagai air di atas daun talas, suka berubah seusai keadaan dan kondisi di tubuh internal. Seharusnya Jokowi bersikap tegas dan konsisten, kalau menteri dilarang merangkap jabatan ketua umum partai yah seterusnya dilarang, bukan diubah-ubah kalau ada apa-apa.
Kini jika benar Prabowo Subianto kembali menjadi ketua umum partai Gerindra sekaligus menteri pertahanan maka pupus sudah harapan untuk menjadi negara yang bebas dan bersih dari kepentingan golongan atau kelompok. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan dari para ahli.
Menurut pengamat politik dari Universitas Airlangga Novri Susan sebagaimana dilansir di Kompas.com, merangkap jabatan antara ketua umum partai dengan menteri justru akan membawa dampak negatif.
Partai politik dan pemerintahan adalah dua hal yang berbeda. Partai politik memiliki fungsi mewujudkan visi dan misi kepentingan kelompoknya dengan basis dukungan dari pemilih saat Pemilu atau Pilkada.
Sementara pemerintahan memiliki fungsi mewujudkan kemaslahatan bersama atas dasar kepentingan umum bukan kepentingan kelompok atau partai. Belva saja mundur dari jabatan Stafsus karena tersandung konflik kepentingan, nah kok yang merangkap jabatan ketum partai dan menteri tidak? Apa karena Belva masih muda sementara lainnya sudah tidak lagi muda sehingga hilang idealisnya?
Lalu apakah Prabowo dan kawan-kawannya yang masih merangkap jabatan mampu menempatkan diri saat menjadi ketua partai dan saat dinas menjadi menteri? Mari jawab sendiri!