Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Guru - M Musa Hasyim

Guru PPKn yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ambiguitas Kesetaraan Gender dalam Ungkapan "Ladies First"

25 Januari 2020   17:28 Diperbarui: 26 Januari 2020   04:19 3977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Sejumlah penumpang kereta listrik (KRL) Jabodetabek menunggu di garis batas antrean berwarna hijau di Stasiun Juanda, Jakarta Pusat, Rabu (9/8/2017). Garis batas antrean ini dibuat agar arus keluar masuk penumpang lebih teratur dan diharapkan dapat menghindari aksi saling mendorong sesama penumpang KRL. (Foto: KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Waktu saya naik KRL, saya senang bukan main ketika sedang lelah-lelahnya dan dapat jatah kursi (bukan di kursi prioritas). Kebahagiaan saya sirna ketika seorang perempuan sebaya denganku memberi kode ingin duduk, padahal dia tidak hamil dan masih muda sama seperti saya, bedanya saya seorang lelaki. 

Karena ada orang yang seperti sinis kepada saya dengan bilang bahwa lelaki harus mengalah, maka saya pun memberikan tempat duduk saya kepada perempuan tadi. Saya memilih menghindari debat kusir saat itu.

Apakah memberi tempat duduk kepada perempuan yang masih sehat bugar adalah sebuah upaya kesetaraan gender? Sebenarnya kesetaraan gender yang benar itu seperti apa?

Ada sebuah ungkapan ladies firt yang sering terdengar dalam masyarakat. Ungkapan tersebut seolah melegitimasi bahwa lelaki harus selalu mengalah, apapun situasinya jika berhadapan dengan perempuan.

Lelaki dianggap selalu salah dan perempuan selalu benar. Apa iya mendahulukan perempuan adalah kesetaraan gender bukannya malah tidak setara karena lelaki selalu dinomerduakan?

Saya sebenarnya sangat kesal ketika kita sudah duduk enak-enak, tiba-tiba muncul dalih perempuan harus selalu didahulukan- kalau si perempuan itu sakit, bawa anak, hamil, atau tua sudah pasti harus didahulukan. 

Namun, jika si perempuan itu masih kuat berdiri dan bukan dalam kondisi khusus, apa iya harus didahulukan. Kalau ingin didahulukan harusnya si perempuan itu memilih gerbong khusus perempuan yang jelas-jelas sudah disediakan. Kan tidak ada gerbong khusus lelaki.

Tak hanya pada masalah tempat duduk di KRL saja, urusan ladies first selalu ada di mana-mana seperti saat mengantre sesuatu, urusan masuk ke suatu tempat, masuk lift sampai acara-acara di kampus. 

Biasanya ungkapan ladies first ini diucapkan oleh lelaki agar kelihatan gentle karena mendahulukan kaum hawa. Apa iya lelaki yang tidak mendahulukan perempuan terlihat bencong dan tak berperasaan? Ini diluar perempuan khusus yang saya sebutkan di atas ya. 

Ungkapan ladies first ini juga sebenarnya malah membuat citra perempuan sebagai kaum lemah, rapuh, gampang nangis dan butuh perlakuan spesial. Padahal bukan itu sifat asli perempuan. 

Apalagi di zaman modern seperti ini, posisi karir perempuan sudah sejajar dengan lelaki seperti perempuan yang menyetir bis besar, perempuan bengkel dan pilot perempuan. Artinya tidak ada bedanya antara lelaki dan perempuan, lantas kenapa harus ada ladies first?

Jika melihat sejarah asal-muasal ladies first seharusnya perempuan tidak ingin didahulukan atau mereka harusnya lebih berdalih siapa cepat dia dapat. Dulu, ladies first itu digunakan sebagai pancingan perang. 

Perempuan disuruh untuk di depan supaya kalau ada musuh atau bom yang tertanam di tanah, perempuanlah yang terkena lebih dulu dan akhirnya lelaki bisa menghalau musuh. 

Dengan kata lain, sejarah tersebut berkata bahwa perempuan dianggap tidak berguna dalam perang dan hanya sebagai umpan.

Kalau sudah tahu sejarah ladies first, apa iya perempuan mau selalu dianggap lemah. Bukankah kesetaraan gender di era modern ini harusnya perempuan dan lelaki setara dalam banyak hal? 

Sepertinya agak susah menerima fakta kesetaraan gender apalagi setelah film Titanic laris manis. Dalam film tersebut, Leonardo Di Caprio rela mempertaruhkan nyawanya dengan memberikan Kate Winslet (pacarnya) sebuah papan. 

Ketika kapal terbelah dua, kapal sekoci pun hanya dikhususkan kepada perempuan dan anak-anak. Sementara para lelaki tenggelam, menyisahkan badan yang dimakan hiu buas.

Sosok Leonardo dalam film Titanic dianggap sebagai pahlawan sejati karena mau memberikan harapan hidup kepada seorang perempuan. 

Padahal sosok Leonardo pantas disebut pahlawan bukan karena menyelamatkan seorang perempuan melainkan menyelamatkan manusia atau mau berkorban demi orang lain. 

Ungkapan ladies first seharusnya diubah dengan others first. Bukan untuk memberikan perempuan porsi lebih melainkan mengorbankan diri sendiri demi berbuat kebaikan untuk orang lain, bukan perempuan lain. 

Tapi kalau sedang tidak ingin berkorban, yah jangan dipaksa. Sama seperti ketika sedang naik KRL, kalau si lelaki tidak ingin memberikan kursi pada perempuan yang setara, jangan dikasih kode dan diceramahi habis-habisan. 

Kasihan si lelaki menanggung beban rasa malu, padahal ini zamannya kesetaraan gender bukan kesetaraan lelaki atau kesetaraan perempuan. Semuanya sama toh? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun