Mohon tunggu...
Murwat
Murwat Mohon Tunggu... wiraswasta -

Trimo Ing Pandum

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menabung Artinya Menyimpan Uang dalam Tabung (1)

23 Mei 2011   18:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:18 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menabung Artinya Menyimpan Uang Dalam Tabung. Inilah maknayang saya pahamidari kata "menabung".  Kami, saya dan saudara saya, diajari ibu kami  untuk menyimpan uang terlebih dahulu jika ingin memiliki sesuatu.  Lebih tepatnya diajari nyelengi, artinya menyimpan uang dalam celengan.  Saya kesampingkan dulu istilah celeng ini.  Saya akan bercerita tentang "tabung".

Kami waktu kecil tinggal di suatu daerah kapur yang tanahnya labil, mudah retak.  Rumah di kampung kami kebanyakan, bahkan hampir semua rumah, terbuat dari kayu atau bambu.  Penduduk yang kaya (yang  mampu)  membuat rumah dari kayu, sementara yang kurang kaya (kurang mampu) membuat rumah dari bambu. Dari mulai tiang, kerangka atap, sampai dinding terbuat dari bambu. Tetapi  dinding bambu bukan monopoli penduduk yang kurang kaya saja.  Rumah kayupun, di beberapa bagian pasti ada yang berbahan bambu.

Di tiang bambu kami menyimpan uang.  Di bagian atas dari ruas bambu dibuat lobang kecil panjang, yang hanya cukup untuk memasukkan uang logam.  Saya mengambil satu ruas, dan saudara yang lain mengambil ruas yang lain pada tiang yang sama.  Sekarang saya paham, bahwa menabung dengan cara itu telah mengajarkan saya banyak hal.

Awalnya saya tidak suka dengan cara ini.  Bagaimana tidak.   Ketika memutuskan memasukkan uang logam  ke tiang bambu, berarti uang sudah tidak bisa diambil kembali.  Wah ini repot, batin saya. Bagaimana kalau ingin jajan dan tidak punya uang? Mau membongkar tiang jelas dilarang oleh orang tua.  Tiang akan jadi rusak, yang artinya tiang harus diganti sebelum waktunya.  Rupanya kesulitan ini yang diharapkan dari tabungan dalam tiang bambu.  Saya secara tidak sengaja telah diajari konsep perencanaan.  Dan kesabaran dalam menjalankan rencana itu. Uang logam yang masuk dalam ruas (tabung) bambu, hanya akan bisa diambil minimal satu tahun ke depan.  Orang tua saya mungkin merelakan anggaran penggantian tiang bambu tiap tahun, untuk tiang yang kami "cintai" itu.  Walaupun sebenarnya tiang itu jika tidak menjadi "bank", bisa tahan beberapa tahun.

Namanya anak-anak, ada saja akal kami untuk "mencuri" uang kami sendiri.  Saya katakan mencuri karena pengambilan itu sungguh ilegal berdasarkan hukum orang tua kami.  Dan hukum itu telah kami sepakati bersama.

Pernah kami mencoba mengambil uang itu dengan lidi, yang berbalur getah nangka sebagi perekat.  Cara itu jarang berhasil, biasanya karena keburu ketahuan oleh orang tua kami.


Pernah salah satu dari kami ingin berbuat curang yang berakibat kekacauan.  Saya lupa siapa yang berbuat.  Saya atau saudara saya.  Misalnya : saya punya ruas di bagian bawah bambu, berarti  atasnya adalah ruas saudara saya.  Dari lubang tempat masuknya uang saya bisa mengkorek-korek ruas sebelah atas.  Jika "beruntung", uang saudara saya akan jatuh semua ke tempat saya.  Dan itu juga akal-akalan yang sia-sia, karena selalu ketahuan.  Jika sudah ada tanda kecurangan, atas desakan "massa",  orang tua saya mengalah untuk membongkar tiang. Tentu saja sambil marah-marah kepada kami yang tidak mematuhi komitmen bersama.  Dalam penghitungan ulang uang tabungan yang mungkin sebagian sudah tercampur itu, juga tidak kalah seru prosesnya dibanding dengan Pemilukada.  Kami masing-masing punya data dalam ingatan, berapa jumlah uang yang sudah kami masukkan ke bambu.  Pokoknya sangat ruwet.  Karena keruwetan itu sangat menjengkelkan, kami berikutnya bisa sepakat untuk  taat aturan.

Ternyata orang tua kamipun juga punya cara yang mirip dalam menyimpan uang.  Ibu kami jika punya uang lebih, membeli perhiasan.  Perhiasan di tangan wanita "pantang'  dilepaskan jika keadaan tidak memaksa.  Bapak kami membeli kambing atau sapi.  Hanya untuk keperluan besar, kambing atau sapi rela dijual.  Untuk keperluan kecil, diupayakan dulu dengan cara lain. Termasuk berhutang, yang akan dibayar dengan uang hasil penjulan kelapa.

Yang paling terkesan adalah ketika kami minta sesuatu yang nilainya di atas jumlah uang tabungan kami, bapak kami menjanjikan:

"Nanti kalau sapinya sudah beranak!"

Dalam batin kami bertanya-tanya, kapan sapinya beranak, wong sapinya saja masih anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun