Mohon tunggu...
Muqsid Mahfudz
Muqsid Mahfudz Mohon Tunggu... MAN OF MADURESE

Laki-laki baik, ngeselinya cuma sedikit.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Alasan Mengapa Duel Lebih Tepat dari Makna 'Carok' Lainnya

14 Februari 2025   22:37 Diperbarui: 18 Juli 2025   14:55 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan tidak langsung Muchamad Aly Reza di laman mojok.co dalam liputan tentang ontran-ontran 'carok?' Madura dan Papua di Yogyakarta kemarin. Reza bertanya, 'carok alami pergeseran?' Disusul sejumlah penjelasan versi makna carok dan sejarah kelekatannya dengan Madura,  sehingga ada saja yang menyebut carok mengalami pergeseran esensi.

Ya, surat Keluarga Madura Yogyakarta pada tokoh etnis Papua di Jogja, yang disinyalir pribadi dan bocor ke publik itu memancing trigger warganet. Barangkali sebab memuat tantangan carok, meski dimaksudkan pada iktikad perdamaian. Sialnya kata carok, Madura dan kekerasan memang cenderung dibayangkan sungguh dan akan segera nyata. Berikut ini, beberapa alasan mengapa kata carok dalam surat itu tergolong pergeseran dan memancing keresahan. 

Alasan  pertama, sesuai dengan makna leksikal Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2023 M. Bahwa caruk / carok merupakan bahasa Madura yang berarti duel dengan senjata tajam (celurit) atas alasan khusus. Hal menarik dalam Kamus Bahasa Indonesia edisi 2008 M adalah kata caruk juga berkonotasi perilaku serupa dengan bermakna rakus dan menguliti / menggores kayu yang menggambarkan perilaku berlebihan dan penggunaan benda tajam (hal.263)

Kedua, merujuk pada statement sejarawan Agus Sunyoto, bahwa 80 persen bahasa Madura dipengaruhi bahasa Jawa kuno (kawi). Ia menjelaskan jika kata rok berarti duel atau bertarung. Sedang jika dengan senjata dikenal dengan carok, sementara warok  sendiri berarti petarung. Keterangan ini pernah disampaikan dalam seminar sejarah "Wiraraja dan Lamajang Tigang Juruh" yang bisa diakses di youtube @jdmmtv.

Alasan ini relevan dengan istilah warok di Ponorogo dan kata rok yang memiliki makna berkelahi dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia versi P.J. Zoetmulder, atau bergulat kacau versi Mardiwarsito sebagaimana Risa Herdahita Putri dalam "Di Balik Nama Ken Angrok" di laman historia.id. Didukung sejarah pengaruh Majapahit dalam kebudayaan Madura yang tidak sedikit. Sehingga KBBI memberi kaitan celurit dan alasan khusus sebagai cita rasa kultural di Madura. 

Misal, seperti apa yang ditulis Huub de Jonge dalam Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam; Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Juga statement Oman Fathurrahman, bahwa kesusastraan dan literasi Madura juga dipengaruhi budaya jawa dalam konten "Manuskrip & Kitab Ulama Madura" di  channel @ngariksatv2019.

Ketiga, kasus carok yang banyak terjadi di Madura adalah duel dengan alasan khusus, sebagaimana dijelaskan sejarawan dan budayawan Madura. Misal Sulaiman Sadik dalam "Kearifan Lokal dalam Sastra Madura" mengatakan jika carok tidak disebabkan ghâbângan, maka kemungkinan itu merupakan pergeseran budaya (2011:91). Ia, mengamati carok berdasarkan wawancara dengan pelaku dan pepatah yang berkembang di Madura. 

Menurut Sadik, ghâbângan bermakna asal atap dari tempat tidur tradisional Madura, yang kemudian dimetaforakan pada perempuan. Sebab mereka adalah rumah dari segala rahasia lelaki Madura. Itu mengapa dalam riset terhadap kasus-kasus carok sepanjang 1985-1994 di Madura, Latief Wiyata menyatakan jika 60 persen carok disebabkan perempuan (2013:6).  Sehingga kata carok dalam Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, paling tidak akan mengandung lima unsur. Yakni sesama laki-laki, pelecehan (terutama terhadap perempuan), didorong rasa malu, persetujuan sosial, serta rasa puas dan bangga bagi pemenang (2013:208).

Keempat, carok bermakna perang sudah tidak lagi relevan dan beda konteks. Sadik dalam tulisannya memang mengatakan, jika dalam prakteknya carok bisa berbentuk duel atau massal, bahkan ada yang tanpa senjata. Namun apa yang tercermin dari kejantanan Pangeran Trunojoyo, Sakera, Chandra Hassan dan Resimen Joko Tole adalah motif harga diri yang didorong oleh rasa cinta pada tanah air dan manusia disekitarnya. Itupun lebih banyak berhubungan dengan penjajahan dari orang asing, bukan sesama Madura atau Indonesia yang sudah merdeka dengan Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga Tragedi Sampit dan semacamnya, masih kurang tepat untuk merujuk pada kisah-kisah heroik ini. Atau paling tidak itu merujuk pada tragedi kelam bârâ têmor pada tahun 60-80-an.

Kelima, makna carok sebagai senjata, agak aneh di telinga. Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940 menyatakan, jika senjata pada pada masa Cakraningrat hingga Panembahan Sumolo adalah pedang, tombak dan keris. Carok dan celurit justru banyak disebut familiar di masa Belanda sebagaimana ditulis Alek Kurniawan dalam "Tinjauan Sejarah Mengenai Kemunculan Carok dan Celurit dalam Budaya Madura" di laman lontarmadura.com, 14 tahun yang lalu. 

Dan mitosnya, hanya membaca di website itu saja, diyakini akan merubah pandangan kita mengenai Madura. Sehingga ada saja yang bilang, apa yang hampir terjadi di Yogyakarta kemarin itu nyaris saja bisa disebut carok, andai kalimat itu relevan dengan keindonesiaan dan trauma sampit yang selalu terasa segar di kepala masyarakat. Pun mengenai stigma yang pastinya akan semakin menyala di media. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun