Mohon tunggu...
Muna Panggabean
Muna Panggabean Mohon Tunggu... -

seorang pengamat sastra sekaligus pelaku, esais, dan budayawan. tapi yang lebih penting daripada itu semua: seorang ibu rumah tangga, ibu dari 3 puteri dan 2 putera.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku Antar Kamu ke Sana

4 Juni 2014   14:07 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:26 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Berarti peluang kamu untuk jadi pacar Igor kecil banget. Peluangku jauh lebih gede.”

Brigitta tercekat. “Aku gak berani.”

“Aku yang orang miskin saja berani, apalagi kamu. Kamu ternyata lebih membutuhkan Jokowi daripada aku.”

***

Yoram menghardik. Suaranya menggelegar. Anwar, di balik kaca, sempat berdiri, kuatir pertengkaran dua mahluk di dalam kotak kaca meluber jadi beneran. “”The Right To Be Forgotten adalah cikal-bakal penghapusan sejarah.” Yoram mengambil jeda, membiarkan pendengar Kanal-7 menantikan apa yang segera dia ucap. “Jika kamu berselingkuh dari suami kamu, misalnya, dan kemudian kamu bercerai, lalu kabar tentang itu dimuat di jagad maya, atas dasar apa pada lima tahun kemudian kamu tuntut google untuk menghilangkan itu dari temuan mesin pencari? Jelas, Derina berselingkuh. Jelas, Derina diceraikan suaminya. Itu informasi sahih. Derina keberatan? Dia bisa tuntut media yang mewartakannya dalam satu atau dua minggu setelah berita itu terbit. Kalau tidak, kita boleh menyimpulkan bahwa Derina dengan rela telah menerima itu sebagai kebenaran. Dan tidak keliru jika puluhan media daring kemudian menyimpan berita itu dalam arsip mereka dan google lalu menemukannya bagi siapapun yang berkepentingan.”

“Sebuah hukuman tidak harus berlangsung seumur hidup, Tuan Yoram. Derina telah menjalani akibatnya: dia sudah diceraikan suaminya dan kabar tentang itu juga sudah didengar orang. Setelah itu, Derina mengalami apa yang kita sebut pengampunan, pendamaian. Derina kemudian berubah. Pendamaian itu telah menjadikan dia sebagai manusia baru.”

“Sekarang kamu bertemu saya dan ternyata saya jatuh cinta sama kamu. Lalu kita berpikir untuk menikah. Apa berlebihan jika saya berupaya mencari tahu masa lalumu agar ada kepastian bagi masa depan yang akan kita bangun?”

“Apakah Tuan Yoram sedang bermaksud menikahi masa lalu Derina.”

“Tolan Kanal-7, di sinilah letak perbedaan ekstrim antara saya dengan perempuan pegila romantisisme ini. Pendamaian tidak membuat Anda terhindar dari perbuatan buruk di masa lalu. Pendamaian seharusnya justru melahirkan kekuatan bagi Anda untuk berhadapan dengan konsekuensi yang timbul dari masa silam.”

“Tanpa ragu saya mengaminkan perbedaan yang diumbar lelaki chauvinistic egomaniac ini. Tolan Kanal-7, Tuan Yoram tak paham apa yang disebut ‘move on’.”

“Itu romantisisme usang. Move on adalah hak yang melekat pada diri sang korban. Mau jalan di tempat atau mau melanjutkan perjalanan adalah hak sepenuh para korban. Sebagai pelaku, Anda tidak berhak menuntut sang korban untuk ‘move on’ -grrrh saya geli membayangkannya-hanya agar Anda dibebaskan dari beban masa lalu. Betul, dengan move on seseorang dimungkinkan memasuki hari baru. Tapi itu adalah hak, itu pilihan, bukan kewajiban. Dan jika saya masih bercuriga kepada seorang jendral dari kemungkinan dia mengulangi perbuatan keji di masa lalu, itu juga hak saya. Bisakah Anda membayangkan adegan berikut ini tanpa terkencing-kencing: sang jendral mendatangi keluarga korban penculikan dan dengan lembut berkata kepada mereka, ‘you need to move on’. Bisa? My God, if You are really there, itu kekejian yang bercampur kekenesan. Kivlan Zen, Fadli Zon, Mahfud MD, atau Aburizal Bakrie pun tidak pantas datang untuk meminta istri, adik, maupun orangtua Wiji Thukul, misalnya, move on -apalagi berkoak-koak kepada rakyat Indonesia untuk melupakan dan berdamai dengan peristiwa keji itu. Orang yang paling pantas, di luar kerabat Wiji Thukul dan korban-korban penculikan lainnya, untuk datang kepada kepada keluarga tersebut adalah Jokowi -sebagai pesaing sang Jendral dalam kontestasi calon presiden RI 2014. Jokowi datang mewakili rakyat Indonesia di luar sang jenderal dan kelompoknya untuk berkata: maafkan Jendral kita itu; mari kita masuki hari baru. Keluarga korban lalu punya hak untuk memenuhi atau menolak permintaan Jokowi –tak peduli seberapa terhormat dan tulusnya pun lelaki ceking kita ini. Kalau kerabat Wiji Thukul menggelengkan kepala, kita tak bisa menyalahkan mereka. Kita tak bisa menuding dan mencap mereka sebagai orang-orang tak bertuhan. Luka mereka belum kering, rasa perih belum sembuh, rasa sesak atas kehilangan belum pulih. Lho kok kita malah mencibir mereka sebagai orang-orang yang tak bersyukur? Ini soal kesanggupan, Derina, bukan kewajiban. Moralitas seseorang tak boleh diukur melalui kemampuannya untuk memaafkan kejahatan. Dan seorang penjahat tidak lantas berubah status menjadi korban ketika kejahatannya tak kunjung diampuni.”

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun