Mohon tunggu...
mulyanto
mulyanto Mohon Tunggu... Administrasi - belajar sepanjang hayat

Saya anak petani dan saya bangga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Memasak" Anak di Rumah Bukan di Mal

9 Juni 2016   08:14 Diperbarui: 9 Juni 2016   08:33 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia akan benar-benar menjadi manusia, kata Ki Hajar Dewantara, kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Di mana manusia yang seutuhnya memahami sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.

Ungkapan yang menggugah hati Ki Hajar itu menyiratkan bahwa mendidik anak agar menjadi manusia seutuhnya yang bermoral, menyejukkan pandangan orangtua juga semua orang, gemilang, sehat hati dan badan, serta berguna bagi banyak hal adalah harus diwujudkan setiap orangtua, sebelum kemudian batin dan otaknya ikut “diisi” oleh lembaga pendidikan dan lingkungan sosial (termasuk juga kebijakan pemerintah).

Memang, pendidikan keluarga adalah yang pertama dan utama bagi anak. Karena itu, orangtua harus bekerja keras untuk memberi pendidikan paripurna kepada anak agar anak menjadi manusia sempurna. Pendidikan yang harus menyentuh dasar nurani yang tidak markir di benak saja. Yang menggugah, mencerahkan, dan mencerdasakan. Yang tidak hanya pelajaran lisan-tulisan tapi juga tindak-perbuatan. Karena semua aspek gerak seonggok tubuh ayah ibu akan diimitasi oleh anak.

Orangtua dalam mendidik anak tidak bisa mengandalkan sekolah/lembaga pendidikan saja. Mewujudkan anak gemilang otak dan hati adalah berkat kerja keras orangtua sendiri yang kemudian sedikit bayak dibantu sekolah juga lingkungan. Ibarat Anda belanja untuk memasak, sekolah (PAUD - Perguruan Tinggi) hanyalah pasarnya (mal), tempat Anda belanja segala kebutuhan memasak.

Ada banyak sayur, daging, ikan, dan aneka kebutuhan pokok lainnya yang tersedia. Silahkan Anda percayakan belanja (pelajaran) di pasar (sekolah) mana saja: pasar yang berintegritas tinggi, berkredibel, terbaik dan terlengkap, lalu bawalah pulang semua belanjaan Anda ke rumah masing-masing, selanjutnya masaklah.

Untuk memasaknya tentu Anda harus melakukan dengan benar di dapur (rumah) Anda sendiri, gunakan resep terbaik yang Anda pahami dan percaya agar mendapatkan hidangan yang luar biasa sebagaimana yang didamba-dambakan keluarga. Bila perlu belilah buku panduan memasak yang topcer supaya dapat dijadikan referensi memasak untuk menghasilkan hidangan teristimewa dalam keluarga.


Saya berpandangan analogi sederhana itu harus diresapi mendalam oleh orangtua. Karena orangtua bijak menyediakan lebih banyak waktu untuk kebergunaannya bagi anak. Orangtua mengantar putra putrinya ke sekolah tak ubahnya hanya "berbelanja" ilmu pengetahuan. Anak bertemu guru, berinteraksi dengan teman, berdiskusi, dan lain sebaigainya adalah sesi orangtua belanja. Sedangkan untuk sesi "memasak" orangtua harus melakukannya di rumah.

Durasi waktu anak dalam kehidupan sehari-hari disadari lebih banyak di rumah dengan keluarga. Di sekolah, putra putri kita hanya belajar sekitar 5-8 jam -itupun kalau digunakan untuk belajar- sementara sisanya 17-19 jam anak lebih banyak berada di luar sekolah, anak-anak ada di rumah bersama orangtua. Di rumah tugas orangtualah "memasak" anak.

Memasak anak yang paling efektif dengan cara menjadi ekseplari moral yang berterbangan di dalam rumah dan di masayarakat. Saya teringat cerita seorang sahabat, kami bersua tidak sengaja di warung makan belum lama ini. Dulu sama-sama dari dusun, sekarang dia jadi seorang dokter yang sukses karir dan keluarga. Mereka tinggal di kota mengajak serta orangtuanya.

Kisahnya cukup menyentuh. Dia bercerita: saat masa kanak-kanak, ibunya selalu memandikan sahabat saya itu sebelum subuh, memakaikan baju lalu meletakkannya di depan orangtunya acap shalat subuh. Namanya juga anak-anak, dia hanya duduk terpaku atau tidur guling-guling begitu saja melihat rutinitas orangtuanya, mungkin karena tidak paham. Tetapi begitu sahabat saya itu usia TK/SD barulah dibelikan sarung yang cukup bagus dan mulai ikut-ikut shalat -menurut cerita ibunya- meskipun bacaan shalatnya masih asal-asalan.

Sepenggal kisah itu paling tidak menjadi salah satu jalan mengetuk hati. Para orangtua dapat meneladani hal itu dalam mendidik anak. Meskipun saya sadar betul ibu sahabat saya yang tidak tamat SR (sekolah rakyat) itu jelas buta teori seperti kebanyakan ibu-ibu jaman sekarang yang minimal lulus S-1. Tetapi, menuangkan teladan di dalam gelas kehidupannya terasa sangat berguna. Keteladanan semacam itu terpatri kuat di benak dan hatinya hingga saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun