Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Penulis - Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jika Aku Tuhan

7 Mei 2022   14:14 Diperbarui: 7 Mei 2022   14:18 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
society6.com via Pinterest

Jika Aku Tuhan

Jika aku Tuhan, akan kubuat Sadeli mati tersiksa.

Kulihat sudah satu jam dia--yang biasa dipanggil Bang Sad oleh istrinya--bermain game online. Selama itu pula kipas angin di hadapan Bang Sad berputar, membuatnya kian merasa nyaman saja. 

Sementara di depan kompor, keringat Mumun membanjir. Uap dari minyak goreng panas di wajan menerpa wajah, tetapi leher dan dadanya juga ikut basah. Sejak subuh perempuan ramping berkulit kuning langsat itu sudah mengerjakan banyak hal di dapur. Mumun berkeringat dan tentu saja sembari menahan lapar. 

Donat-donat rumahan sudah siap diantar ke warung dan kantin sekolah. Yang sedang Mumun kerjakan sekarang adalah membuat nasi goreng, ditambah telur dadar dan kerupuk bawang. Menu sarapan untuk suaminya.

Banyak sekali sedekah perempuan bodoh itu kepada si pemalas. Entah atas dasar cinta atau terpaksa. Apa pun itu, sebagai Tuhan aku ingin sekali melimpahi Mumun pahala, berkah kesehatan dan hujan uang yang turun deras dari langit-langit rumah kontrakannya. Untuk Sadeli, cukup sengatan listrik yang mematikan. 

Bagi Tuhan semua mudah. Maka aku akan membuat ponsel di tangan Bang Sad memuntahkan api. Aku cukup berucap, "Meledak!" maka meledak. Apalagi benda kesayangannya itu sedang di-charge. 

Blasttt! Duarrr!

Kemudian, aliran listrik berdaya 900 watt menyengat tubuh Bang Sad. Seketika sengatan yang sangat dahsyat mengentak seluruh otot-otot tubuhnya. Dari ubun-ubun sampai ujung kaki. Pengangguran kelas kakap itu bakal mengejang hebat, terbakar tanpa api. Dia tidak akan sempat berteriak minta tolong, apalagi berwasiat. Langsung mati kaku dan gosong.

Olala! Aku Tuhan Yang Maha Gembira. 

Biar! Biar saja nantinya para pengurus jenazah di kampung ini sibuk membatin. Dosa apa orang ini? Apa yang telah dilakukan almarhum hingga mendapat azab demikian parah? Lantas, pelayat-pelayat yang mencium bau sangit juga akan menyempatkan diri berbisik-bisik, menebar segala prasangka. Mungkin karena ini atau itu.

Sementara, Bang Sad yang terkenal temperamen, cuma bisa membisu. Boro-boro membela diri, arwahnya malah gentayangan. Dia bakal jadi hantu yang sibuk mendatangi para pecandu mobile legend, memaksa mereka agar diperbolehkan main bersama. Hahaha. 

Sepiring munjung nasi goreng sudah siap. Satu mug teh manis hangat telah tersaji sebelumnya. Sambil menyodorkan hidangan, Mumun berkata, "Sarapan, Bang. Segini cukup, kan? Beras kita abis. Mumun belom beli lagi."

"Ya beli, gih. Gitu aja repot. Elu kan, punya duit dari dagang kue."

Mumun cuma mengangguk dan menikmati sarapannya yang cuma seujung centong--sekitar enam sendok makan saja. Nasi goreng tanpa telur. Prihatin. 

Sungguh menyebalkan melihat Bang Sad makan. Dia menyantap semua makanan seolah-olah tubuhnya butuh energi ekstra untuk kerja berat. Padahal, seperti yang sudah-sudah, sehabis sarapan lelaki itu akan tidur pulas karena kekenyangan. Begini biasanya Sadeli berdalih, "Semalem gue gak bisa tidur, Mun." Jelas saja tidak tidur, dia sibuk bermain game online. Aku saksinya.

Satu atau dua jam Bang Sad akan terlelap. Kemudian, kembali tekun dengan ponselnya seharian sambil ditemani sinetron atau gosip selebriti. Lupa pada kewajibannya mencari nafkah. Ah, bukan! Bukan lupa. Aku yakin, dia ingat betul soal itu, tetapi punya seribu alasan untuk mengabaikan. 

Toh, selama ini Mumun tidak pernah protes. Bahkan laki-laki tambur itu bisa makan enak, tidur nyenyak dan bercinta kapan pun hasrat memuncak. Tanpa pernah tahu, diam-diam Mumun berurai air mata di kamar mandi. Tanpa pernah pula mau berbagi pekerjaan rumah agar istrinya tak terus menerus lelah. 

Di pikiran Bang Sad, semata-mata karena doanyalah langit menurunkan hujan rezeki berupa nasi padang, bakwan dan capucinno cincau. Tak ada hubungannya dengan peluh lelah Mumun. Tak ada sangkut pautnya dengan rintih doa seorang istri di sela-sela nyeri sendi.

"Bang, antar Mumun ke kantin, yok!" pinta sang istri setelah melihat Bang Sad selesai makan.

"Sendiri aja, sono! Gue mager, ngantuk nih."

Benar, bukan? Betapa malasnya makhluk satu ini.

Jika aku Tuhan, maka aku bukanlah Tuhan Yang Maha Pemurah--seperti Tuhan yang sesungguhnya. Aku adalah Tuhan Yang Maha Pemarah. Sebab itu, akan kubuat perut buncit Bang Sad meledak. 

Duarrr!

Terburailah semua isi perutnya. Tak terkecuali. Darah segar muncrat sampai ke dinding. Oh ya, ke langit-langit juga, agar menjadi lukisan yang sangat dramatis. Usus-usus, lambung dan empedu berserak di penjuru lantai. Tubuh bagian tengahnya terlihat seperti berlubang, nyaris terputus. Oh, betapa indahnya. 

Sangat mudah bagi Tuhan. Cukup kukatakan, "Meledak!" maka meledaklah si Bang Sad. 

Puas!

Kemudian, Mumun yang cantik itu menjadi janda kembang desa ini. Jika dia pintar, tentu tidak akan lagi terjebak cinta laki-laki bertabiat serupa Bang Sad. 

Oh iya, hampir saja lupa. Bukankah aku Tuhan Yang Mahakuasa?

Baiklah, akan kuberi perempuan pendiam itu jodoh terbaik. Laki-laki matang yang soleh dan kaya raya. Kurasa dia tidak mencari yang rupawan. Lihat saja si Bang Sad itu. Jauh sekali dari tampan. Huhh!

Namun, Bang Sad memang sungguh beruntung. Paling beruntung sedunia dan seangkasa raya. Selain memiliki istri yang rela menjadi tulang punggung sekaligus budak baginya, aku juga bukan Tuhan.

Aku cuma cicak jantan di dinding kontrakan dua petak ini. 

Ya, cuma cicak di dinding, yang diam-diam merayap. Pelan-pelan menyingkir ke balik lemari butut. Aku iri menyaksikan Bang Sad masyuk melampiaskan nafsu birahinya pada Mumun yang seksi. Lain perkara jika si pemilik payudara montok dan bokong besar itu sedang sendiri. Rasanya aku ingin berulang kali menjatuhkan diri di dadanya. Ckckck. 

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun