Mohon tunggu...
mumuh mulyana
mumuh mulyana Mohon Tunggu... lainnya -

mumuh mulyana

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sudut Dua Jalan

19 Desember 2014   23:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:56 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lajunya menyesakkan dada, nafas tak karuan, mata tak dapat tersapu oleh angin semata, senyum hampir tak pernah terkembang lagi, hari tersebut menjadi hari yang amat sibuk, sibuk membenamkan raganya yang terpisah oleh dua sudut jalan itu, sibuk untuk berlalu dengan bayangannya yang hampir tak pernah meninggalkan raga ini.
Dalam riuh sorak sorai perpisahan matanya tak pernah menginginkan untuk diri ini berlalu dengan kepergiannya. Sadar jikalau ia berlalu dengan beban berat yang harusnya itu tak terjadi. Aku salahkan dua sudut jalan yang hingga kini semakin kokoh dengan keangkuhannya, warnanya begitu menantang untuk di ingat kembali masa itu..sial…ini suatu kesialan yang berujung semakin harunya diri ini, berdiri saja diri ini tak mampu untuk mengingat kembali masa gila-ku dengan sosoknya itu.
Pagar-pagar menantang tak kunjung hilang
Raga-raga berlarian menanti pandang
Memaknai dalam ruang-ruang hampa
Kekosongan itu membabi buta menyerang keseantero jiwa, membekas melukai pagar iman yang dahulu tertata rapi, melemah kan imun-imun jiwa bahkan merobohkan tiang kokoh perisai jiwa, …barangkali dia-pun sama dengan apa yang dirasa, ahh... barangkali aku salah menilai semua perasaan ini memulai dengan berlaga tak punya hati sampai menjadi pembagi waktu yang menilai bahwa semua akan terjasi begitu cepat, singkat bahkan tak berbekas.
Di persimpangan jalan panjang itu diri ini tertegun tak kenal waktu,meratapi namun tak menyesali, memuji tapi tak kuat hati,menangis tapi tak berbagi. Persimpangan itu menjadi bukti bahwa setiap yang dimulai pasti akan berakhir, setiap pertemuan berbarengan dengan perpisahan, jauh akan sama peliknya dengan dekat. Namun ku pastikan ini tak bertahan lama maksudku perpisahan ini takkan lama hanya saja menyisakan luka yang amat lama untuk tidak diratapi dengan semua keindahan sang mentari senja juga pagi yang terus mengingatkan bahwa persimpangan jalan itu menjadi sebuah awal perjalanan dari kesendirian. Entah apan perpishan itu berlalu tapi ku pastikan itu telah terlewati banyak waktu, haampir saja diri ini mulai melupakan sosok penunggu dua sudut jalan itu, hampir jua diri ini berlalu tanpa kembang senyum itu.
Sudut jalan itu menjadi saksi bisu ketika kepekaan tak lagi menjadi prioritas hakiki, ketika senyum hampir lenyap dari raut wajah kemerahan itu, ketika semua rasa sedih mulai menyelimuti raga, ketika kepayahan terus meneror tak ada henti, disaat itu pula dua sudut jalan itu tiba-tiba berubah menjadi dua jurang yang dalam nan gulita tak bertepi.
Hari itu tiba-tiba matahari enggan menampakkan dirinya, bersembunyi di gerumulan awan lembut, tak terasa lagi hangat yang menghujami tubuh ini, biasanya tubuh ini menagih diri untuk bersapa ria dengan sang mentari, tapi lagi-lagi hal itu tak kunjung datang , mungkin ini bukan karena mentari tak tampak, tapi yakin bahwa diri inilah yang menghindari sang mentari.
Kusibakkan belahan gordeng jendela asramaku, di sebelah jendela terlihat teman sejawatku bermain dengan sang mentari di temani teh hangat yang aku yakin itu teh tawar karena persediaan gula kami telah habis. Tentu aku ingin seperti mereka yang menyambut pagi itu dengan kehangatan walau cuaca tak begitu hangat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun