Maka, wacana menghidupkan kembali GBHN merupakan wacana mundur dan beralih kepada interaksional dulu, mengingat reformasi bukanlah aturan yang bisa dirubah dan dikembalikan layaknya sebelum adanya reformasi. Namun keinginan membentuk dan menyusun haluan negara patut diapresiasi sebagai bagian strategi guna harmonisasi rencana pembangunan nasional, sehingga perlu kiranya bangunan politis yang kuat dengan melibatkan seluruh partai politik dan elemen lainnya guna melahirkan suatu consensus politik menyusun haluan negara, yang kemudian hasilnya diserahkan kepada presiden dan DPR untuk disetujui sebagai sebuah dokumen politik, tanpa mengamandemen kembali soal kewenangan MPR.
Konsensus politik demikian untuk Haluan Negara sebagai dokumen politik yang menjelaskan arah pembangunan nasional secara berkelanjutan, nantinya bersandingan dengan UUD 1945 amandemen, Pembukaan, dan Batang Tubuh serta tidak merupakan undang-undang atau diundangkan. Sebagai sebuah dokumen politik, konsensus ditempatkan untuk melengkapi UUD 1945 amandemen, sebagaimana dokumen atau piagam hak-hak azasi manusia Amerika Serikat yang bersanding dengan konstitusinya (Declaration of human rights, dan declaration of independence).
Menghidupkan kembali GBHN, justru menujukan inkonsistensi politik nasional. Apalagi soal aturan dasar Negara yang diubah yang bila menyimak risalah BPUPKI tahun 1945 sungguh para pendiri bangsa sudah hidup melampaui jamannya. Â