Secara resmi, DPR sering kali beralasan penundaan disebabkan oleh hal-hal teknis, seperti perlunya harmonisasi dengan revisi KUHAP dan kekhawatiran tumpang tindih dengan UU lain. Namun, banyak pihak meyakini alasan sesungguhnya bersifat politis.
Anggota Komisi III DPR, Benny K. Harman, secara terbuka mengakui bahwa kendala utama adalah "minimnya dukungan dari fraksi-fraksi". Hal ini tidak mengherankan, karena RUU Perampasan Aset mengandung "senjata pamungkas" yang paling ditakuti: mekanisme perampasan aset tanpa putusan pidana dan pembuktian terbalik.
Artinya, negara dapat menuntut aset yang diduga hasil kejahatan secara langsung, dan beban pembuktian bahwa aset itu diperoleh secara sah berada di pundak pemiliknya. Mekanisme inilah yang berpotensi besar mengancam kekayaan para elite politik dan kroni mereka yang diperoleh secara tidak wajar, sehingga memicu resistensi kuat dari dalam sistem itu sendiri.
Kekhawatiran akan pelanggaran HAM dan asas praduga tak bersalah sering kali diinstrumentalisasi menjadi tameng hukum yang elegan untuk menutupi keengganan politik yang lebih dalam.
Saat ini, bola panas kembali bergulir. Publik telah menyuarakan tuntutannya dengan lantang, dan para elite politik telah memberikan janjinya. Namun, ujian sesungguhnya bukanlah pada kata-kata, melainkan pada tindakan nyata di ruang sidang parlemen. Apakah RUU Perampasan Aset akan benar-benar dibahas secara substantif, ataukah janji kali ini hanyalah episode lain dalam drama penundaan yang tak berkesudahan? Waktu yang akan menjawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI