JAKARTA -- Di tengah desakan publik yang memuncak pasca-gejolak akhir Agustus 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI merespons dengan sebuah manuver politik yang cepat dan simbolis. Melalui "Keputusan Rapat Konsultasi Pimpinan" tertanggal 4 September 2025, DPR mengumumkan penghentian tunjangan perumahan, moratorium perjalanan luar negeri, dan pemangkasan sejumlah fasilitas mewah lainnya bagi para anggotanya.
Langkah ini, yang dipromosikan sebagai bukti bahwa DPR "tidak bersikap elitis lagi", disambut dengan skeptisisme oleh banyak kalangan. Pasalnya, di saat yang sama, tuntutan paling substantif dari masyarakat---percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset---justru absen dari kesepakatan tersebut.
Analisis mendalam menunjukkan bahwa DPR sedang memainkan dua narasi yang berbeda. Di satu sisi, mereka menyajikan "gula-gula" berupa reformasi internal untuk meredam amarah publik. Di sisi lain, agenda legislasi anti-korupsi yang paling ditakuti oleh para elite politik tetap terperangkap dalam labirin penundaan yang telah berlangsung selama 17 tahun.
Kisah Dua Agenda: Respons Krisis vs. Legislasi Strategis
Penting untuk memahami bahwa kesepakatan 4 September dan RUU Perampasan Aset berada di dua jalur yang sama sekali berbeda. Dokumen kesepakatan pimpinan DPR adalah produk dari sebuah Rapat Konsultasi, sebuah forum koordinasi internal yang berfungsi sebagai respons taktis terhadap krisis citra kelembagaan. Isinya fokus pada hal-hal yang mudah dieksekusi dan berdampak langsung pada persepsi publik: memotong hak dan fasilitas anggota.
Sebaliknya, RUU Perampasan Aset adalah produk legislasi nasional yang harus menempuh jalur formal yang panjang dan rumit, mulai dari masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) hingga pembahasan mendetail di Badan Legislasi (Baleg) atau komisi terkait. Mengharapkan RUU ini muncul dalam sebuah rapat pimpinan tentang tunjangan adalah sebuah kesalahpahaman fundamental terhadap cara kerja parlemen.
Siklus Penundaan: Janji Muncul Saat Ditekan, Lalu Lenyap
Perjalanan RUU Perampasan Aset adalah sebuah drama legislatif yang penuh penundaan. Digagas sejak 2008, RUU ini selalu mengikuti pola yang sama: menjadi sorotan ketika ada tekanan publik yang masif, namun kembali dilupakan saat tekanan mereda.
Pada 2023, kasus kekayaan janggal pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo mendorong RUU ini masuk Prolegnas Prioritas, bahkan Presiden Joko Widodo telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) untuk percepatan pembahasan. Namun, hingga akhir masa sidang, tak ada kemajuan berarti.
Kini, pasca-demonstrasi Agustus 2025, siklus itu terulang. Para elite politik, dari Presiden Prabowo Subianto hingga pimpinan DPR, serempak berjanji akan memprioritaskan RUU ini. Baleg bahkan menyatakan siap merevisi Prolegnas agar RUU ini bisa segera dibahas. Namun, masyarakat sipil, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), mengingatkan agar gelombang komitmen ini tidak hanya menjadi taktik sementara untuk "meredam kritik" publik.
Di Balik Alasan Teknis, Ada Resistensi Politis yang Kuat