Mohon tunggu...
Mukti AliAsyadzili
Mukti AliAsyadzili Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Menerangi Langkah Tunanetra dalam Membaca Literasi di Era Milenial

31 Juli 2019   18:54 Diperbarui: 31 Juli 2019   19:04 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Secara sederhana literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun, saat ini literasi memiliki arti luas sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti. Ada bermacam-macam keberaksaraan atau literasi, misalnya literasi komputer, literasi media, literasi teknologi, literasi ekonomi, dan literasi informasi. 

Jadi keberaksaraan atau literasi dapat diartikan melekteknologi, melek informasi, berpikir kritis, dan peka terhadap lingkungan. Lalu seberapa banyak pemuda Indonesia yang begitu 'rakus' terhadap buku? Tentu tidak banyak. Padahal negeri kita ini sesungguhnya membanggakan. Berdasarkan data UNESCO, tingkat literasi di Indonesia termasuk tertinggi di Asia Pasifik dalam rentang tahun 1990-2015. 

Presentasenya bahkan bersaing dengan China, negara superpower Asia yang semakin naik di kancah perekonomian global. Apakah kita boleh bangga? Boleh saja. Namun, apakah tingginya tingkat literasi juga berarti tingginya minat baca? Tentu tidak juga. Lalu, bagaimana kondisi minat baca di Indonesia? Jangan kaget angkanya terjun bebas. 

Menurut pembangunan pendidikan UNESCO, Indonesia berada pada urutan 69 dari 127 negara. Yang memiliki minat baca tinggi hanya satu diantara seribu. Jauh dari angka minat baca di Jepang yaitu 45 persen atau Singapura yang mencapai 55 persen. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia mampu, namun kurang minat menyentuh buku. 

Jangankan warga yang tidak sekolah, yang sedang atau telah menempuh pendidikan dasar, menengah dan tinggi saja masih banyak yang ragu untuk membuka lebaran-lembaran buku yang katanya gudang ilmu itu. Terutama dikalangan para pelajar yang telah ditelan arus globalisasi, sekarang lebih suka bergelut di media sosial atau browsing di Internet hanya untuk mencari hiburan semata, seperti mendownload lagu, film, atau hanya untuk membuang-buang waktu chating dengan teman di sosmed. 

Mengapa hal ini dapat terjadi? Tentu jawabannya karena kita tidak terbiasa. Minat baca itu sama saja dengan makan sayur. Jika kebiasaan tidak ditumbuhkan sejak dini, akan sulit untuk ditanamkan saat beranjak dewasa. Bukannya tidak bisa, hanya saja tidak mudah dan perlu usaha ekstra.

Jalan Gelap Disabilitas Tunanetra

Ketika saya menempuh pendidikan di Kota Singaraja, banyak sekali event-event penulisan yang telah saya hadiri di berbagai kota di Indonesia. Tentunya saya kaget ketika melihat orang yang memiliki keterbatasan fisik seperti Tunanetra mampu berkarya lewat literasi. Membayangkannya saja, saya sunguh kagum karena sepengetahuan saya seorang Tunanetra hanya bisa membaca sebuah bacaan lewat Huruf Braille. Tentunya untuk membaca huruf tersebut, dia harus belajar mengenal Huruf Braille. 

Tentu hal ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan perlu proses lama bagi seorang disabilitas tunanetra dalam memahami Huruf Braille. Pada awal Tahun 2018, saya tidak sengaja berjumpa dengannya, Al Diwani, pada acara pertemuan komunitas anak muda di Makassar. Al Diwani adalah pegiat literasi di Makassar yang memiliki kekurangan dalam hal penglihatan (Tunanetra). 

Pertemuan ini bukan kali pertama, namun cerita tentangnya baru saya ketahui dengan jelas. Tahun 2017, saya bertemu Al Diwani sebagai pegiat literasi di Makassar. Dia seorang penulis, editor buku, dan pustakawan yang hobby membaca buku. Namun, akibat kerusakan retina pada kedua matanya, tahun 2017 Al Diwani mendapat vonis dari dokter dan harus kehilangan penglihatan secara permanen. 

Sejak saat itu, Al Diwani perlahan meninggalkan pekerjaanya dibidang literasi. Al Diwani (33 tahun) menjadi satu dari 3,5 juta penyandang disabilitas tunanetra di Indonesia. Dunia literasi yang awalnya bergerak cepat bersama Al Diwani mulai tertinggal. Saat menemuinya, Al Diwani sedang mendengarkan pesan masuk melalui telepon genggamnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun