Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Simbolisasi, Identitas, dan Labelisasi dalam Politik Persuasif

22 November 2022   20:06 Diperbarui: 28 November 2022   21:58 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrated By: kompas.id

Simbolisasi dalam dunia politik merupakan kelumrahan dan menjadi sebuah keharusan berpolitik.

Upaya mempengaruhi orang lain melalui perantara simbol-simbol tertentu, 'berkonotasi' lain dari maksud yang sebenarnya. Bertujuan meninggalkan jejak atau kesan kepada objek yang dituju.

Kesan lain kepada khalayak berupa respon dan reaksi publik. Dalam politik, simbol merupakan usaha membangun image dan mempengaruhi mindset. 

Diharapkan adanya reaksi, yaitu politik dalam mengarahkan persepsi publik. Serta cara menarik massa, barisan simpatisan sebagai pendukung loyalis. Dengan menggunakan simbol tertentu.

Seperti simbol agama, buruh atau petani, kedaerahan/etnis/, atau kelompok massa (ormas) yang berpengaruh. Sehingga kecenderungan bersikap klaim, atas sesuatu hanya digambarkan dengan perwujudan simbol.

Pendeknya, simbolisasi politik selalu ada pesan yang tersembunyi dibalik sebuah makna simbol, punya motif dan tujuan.

Hal ini dapat disimak dari perjalanan sejarah politik tanah air. Simbol sangat lekat pada parpol besar kala itu. Dan kecondongan para pendahulu berpolitik, selalu ada simbolisasi yang digunakan.

Mewarnai pergerakan dan sepak terjang perjalanan dalam berdemokrasi. Secara garis besar mewakili tiga ideologi besar kala itu. Nasionalis, agamis, dan komunis.

Sisi ideologis atau faham yang dianut samgat kental mempengaruhi jalan politik parpol. Dan pergerakan dalam berpolitik.

Perjalanan sejarah ini, menggambarkan adanya tiga ideologis besar, pada masa orde lama. Cikal bakal lahirnya sebuah inisiasi terbentuknya kabinet 'Nasakom' kala itu, oleh Presiden Soekarno.

Namun, pasca gagalnya usaha pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965, dikenal dengan gerakan 30 September, ikhwal berakhirnya ideologi komunis di Indonesia.

Partai PKI dibubarkan, elit-elitnya ditangkap dan apapun yang berbau kekirian dihapus di tanah air. Ideologi komunis sebagai ideologi terlarang di Indonesia. 

Lalu, naiknya Soeharto sebagai presiden, hanya ada dua ideologi besar yang diperbolehkan, Nasionalis dan Agamis hingga berlaku sampai dengan sekarang ini.

Simbolisasi, Identitas, Labelisasi dalam Politik Persuasif

Perumpamaan simbolisasi politik, tak jauh berbeda dalam dunia usaha, merek atau logo bisnis/dagang, membangun personal branding atau meminjam istilah labelisasi. 

Labelisasi politik, sepertinya ditunjukan dengan gambaran dari simbol. Sudah jelas tamil di permukaan.

Seperti simbol berbentuk pohon Beringin, labelnya untuk partai Gokar, Banteng moncong putih PDIP, Matahari PAN, dan begitupun juga yang jelas terlihat disetiap partai lainnya. 

Di samping adanya dominasi sebuah warna merah, biru, kuning, hijau, menghiasi bermacam bentuk atribut di setiap parpol. Hal ini bisa 'dipersepsikan' sebagai simbol yang tampak jelas sebagai labelisasi politik. 

Merek dagang yang tidak asing lagi, kartu pengenal yang mempersepsikan keberadaan parpol bagi publik. 

Hal ini berlaku untuk politikus, akan diketahui simbol partai mana yang ia pakai. Label parpol manakah yang menjadi latarbelakangnya, payung bernaung.

Simbol dan labelisasi politik seperti salam pengenal, perwujudan dari sebuah identitas politikus dan parpol berolitik.

SARA DAN POLITIK PERSUASIF

Mencuatnya unsur SARA, tranfomasi nyata dari perwujudan wajah dari politik identitas. Ketika suku, agama, ras, dan antar golongan menjadi citra 'identitas' politik. Seperti adanya labelisasi parpol yang diinisiasikan dari kelompok tertentu.

Konotasi politik ini memainkan bermacam simbol sensitif atau label demi tujuan atau aspek mewakili sub massa, kepanjangtanganan suara tertentu. 

Simbol tertentu bisa menjadi label nama berdaya magis. Citra positif, upaya meraih tujuan dan langka taktis untuk mempengaruhi simpati publik. Identitas SARA bisa digunakan dan dimanfaatkan.

Untuk membangun stigma politik, mencari masa pendukung, dan media jitu berpolitik dengan cara negatif yakni memantik ke-egosentrisan di masyarakat. 

Unsur suku, agama, ras, dan antar golongan, domain sensitif yang rentan dan riskan dimainkan. Demi menoreh keuntungan, dan tercapainya sebuah tujuan. 

Tanpa melihat efect domino yang bakal terjadi, menghantui perjalanan demokrasi tanah air. Segala daya dan upaya perpolitikan, kanal SARA pun dijalankan. Ironi.

Munculnya politik identitas tidak terlepas dari aroma SARA yang dihembus, diracik, sebagai bumbu makanan yang digendangkan dalam narasi politik keberpihakan. Melalui perantara simbol dan pelabelan. 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun