Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Malu atau Gengsi Menjadi Petani

5 November 2021   21:13 Diperbarui: 7 November 2021   09:07 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sawah, ilustrasi Pertanian (SHUTTERSTOCK.com/JET ROCKKKK)

Dikenal sebagai negara agraris, namun dunia tani kita masih saja ironis

Pernyataan subyektif di atas merupakan jerit dan rintihan bersifat pribadi lakon sebagai petani atas kenyataan yang terjadi dalam dunia pertanian tanah air. 

Tanah yang kaya nan subur, namun rakyatnya ora makmur, produk hasil pertanian masih dikirim dari luar, piye yang salah dari julukan kita sebagai negara agraris? 

Pandangan Miring Menjadi Petani

Petani secara kaca mata sosial di masyarakat masih dipandang sebelah mata (kelas rendahan). Status sosial yang kurang 'prestise' tidak memiliki nilai jual secara frame dalam status sosial.

Tak heran sering ditemui, para orang tua masih beranggapan petani merupakan jalan akhir saat anak dalam menentukan jalan karir. Menapaki sebuah pilihan kerja.

Setelah pontang-panting mencari kerja berbekal selembar kertas ijazah. Sing penting bukan menjadi petani. Malu dong diolok-olok karena ini.

Bila dikaji ulang image ini, tak jarang berkaitan dalam sisi wajah pendidikan atas gelar kesarjanaan di masyarakat. Hasil dari analisis receh awamologi loh.

Pendidikan yang tinggi jebolan dari perguruan tinggi yang ternama. Sungguh disayangkan bila nantinya lebih memilih peruntungan, bekerja sebagai petani. 

Susah-susah nyekolahin, eehhh jadi petani, otakmu di mana Tole? Buat malu, habis sudah harta pusaka tak terbalas keluh ini Tole!

Pandangan miring seperti ini masih kukuh di kalangan masyarakat. Lebih-lebih di desa yang masih bersifat homogen (awam) dari masuknya pandangan dari dunia luar, yang tamatan sekolah tinggi pun dapat dihitung dengan jari. 

Keberadaan sosok sarjana berpendidikan tinggi tidaklah baik memilih jalan hidupnya, back to kampung halaman menjadi seorang petani.

Suatu kehormatan keluarga jika anaknya tidak mengikuti jejak hidup seperti mereka. Hidup bak orang-orang perkotaan, rutinitas kerja di ruang lebih bergengsi berpakaian rapi, wangi nan bersih.

Tak ayal nyinyiran hingga cibiran bak 'momok'  selerti dalam lirik lagu Iwan Fals Sarjana Muda. Sarjana kok ngarit, kok nyangkul, kok ngangur dan sebagainya, anggapan yang terjadi di pedesaan. 

Fenomena ini secara tidak disadari langsung atau tidak akan ada sedikit bersinggungan dalam dunia pendidikan itu sendiri, tak pikir-pikir.

Jika nanti wajah pendidikan tidak sedini mungkin dapat merubah pandangan awam, akan tujuan dan subtansi dari pendidikan itu sendiri. Yakni memanusiakan manusia, menurutku.

Bila terabaikan terjadinya pembiaran atas mispersepsi yang dipahami masyarakat akan pendidikan, pendidikan tidak menjanjikan pekerjaan yang layak sesuai kategori pemahaman masyarakat. Entahlah? Bisa saja pendidikan tidaklah dianggap penting, cukup bisa baca tulis jadilah.

Ngapain tinggi-tinggi, yang ono nggak sekolah pada tajir melintir. Loe pendidikan tingi pada ngarit, Le?

Begitupun bagi generasi muda dari pedesaan akan banyak muncul pertimbangan dan keraguan untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Ujung-ujungnya pada ngangur juga, bertani.

Seandainya mispersepsi ini terabaikan dalam artian diluruskan dengan memberikan pemahaman kepada khalayak, gimana nantinya pembangunan generasi yang berkualitas? Eksistensi dunia pendidikan sebagai pencetak manusia cerdas dan berkarakter.

Kembali pada konteks pertanian milenial. Rendahnya animo generasi X tuk bertani pembahasan penting sekali untuk dikupas dengan ragam sudut pandang.

Korelasi dari anggapan masyarakat desa, reorientasi wajah pendidikan melahirkan insan unggul, dan dunia kerja. Catatan menarik akan minusnya selera para milenial untuk bertani pada era sekarang. Menurutku.

Sebagai dari bagian kelompok/barisan/pemuda, ingin berbagi pandangan receh bahwa petani adalah identitas kita Indonesia, sepantasnya julukan tersebut tetap terjaga, bukan?

Bila suatu saat nanti, entah 20, 30 atau 50 tahun lagi bisa saja petani adalah jawaban dari ketidakpastian dunia pekerjaan yang semakin kompetitif, konsumtif, pengangguran yang semakin bertambah. Petani adalah alternatif dalam menjawab kegelisahan dunia kerja.

Rasa enggan milenial untuk terjun dalam dunia pertanian, besar dimungkin semakin membuat ketahanan pangan secara nasional menjadi semakin tergantung dari impor negara luar. Tidak mampunya kita mencukupi kebutuhan pangan sendiri.

Dalam konsep teori Thomas Robert Malthus, ledakan jumlah penduduk yang tidak seimbang atau didukung dengan kebutuhan pangan, piye? Yang bertani kagak ada?  Generasi tua tidak kuat lagi bertani, mau makan apa?

Lalu persoalan lahan yang semakin terbatas, kepemilikan lahan yang dikapitalisasi oleh pengusaha dan penguasa, titik persoalan pelik suatu saat nanti.  Yang lebih pada pengembangan swastanisasi lahan ke varian tanaman bukan pangan.

Lalu, posisi milenial? Teknologi dan inovasi pertanian jawaban akan persoalan, kreasi tangan dari petani milenial. Berani mengeksekusi ilmu dibangku pendidikan ke dunia pertanian.

Pembuktian dalam menepis pandangan miring masyarakat, orang, akan petani. Bahwa petani bisa alternatif pekerjaan yang berkelas. Dan mulia karena suplai pangan ada ditangan petani.

Salam

Catatan: Daripada ngangur tidak jelas kerjaan. Petani donk. Daripada menghitung bintang, menunggu bulan datang dalam mencari peruntungan. Mari coba jadi petani karena gengsi tidak akan menghasilkan apa-apa, ya kan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun