Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jengkol, Antara Aroma dan Permintaan Pasar yang Menjanjikan

28 Februari 2021   15:21 Diperbarui: 1 Maret 2021   23:40 1687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi harga jengkol yang terus melejit (Sumber: KOMPAS.com/PRAMDIA ARHANDO JULIANTO)

Beda Zaman Hasil Bumi Dulu dan Sekarang, Saat Ini Semua Punya Nilai Harga

Menurut Mamak, dulu mencari uang sangat susah waktu itu. Namun banyak jenis hasil bumi yang berlimpah, murah, dan dapat diperoleh secara gratis.

Mak bercerita bahwa bapakku dulu pernah ditawarin pemerintah dan mau diangkat jadi Pegawai, namun bapakku yang tidak mau. Kata Bapak, mendingan jadi penyadap aren daripada jadi PNS.

Bapak bilang bahwa gaji PNS zaman dulu itu kecil, tidak cukup untuk membiayai hidup keluarga dan menyekolahkan kakak. Gaji pegawai di zaman itu pada tahun 60 hingga 70-an hanya sebesar Rp 15.000. Beda sekali dengan zaman sekarang yang mana PNS jadi rebutan. Apalagi setelah reformasi, kesejahteraan PNS sangat diperhatikan oleh pemerintah. 

Kata Mak, dulu bapak yang hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR) saja bisa ditawarin, kalau sekarang mah harus sarjana dulu. Jadi daripada gaji naiknya lama dan jabatan tak kunjung naik, maka akhirnya bapak saat itu lebih memilih berkebun dan bertani saja.

Itulah sekadar ocehan Mamak yang terkadang menghibur, namun juga terkadang menusuk hati bila menghubungkan dengan pendidikan. Yang kadang kuanggap sebagai angin lalu. 

Namun ada cerita lain juga yang aku dapat dari Mamak. Kata Mamak, dulu banyak bahan atau hasil bumi yang tidak ada harganya (alias gratis), dan kini kalau dijual kembali, bisa mendatangkan pundi-pundi Rupiah. Seperti buah kemiri, buah pinang, pisang lengkuas, kunyit, serai, jengkol, cabe rawit. 

Nah, dulu hasil kebun seperti yang telah disebutkan di atas, kalau dijual di pasar tidak ada penampungnya, alhasil dikonsumsi sendiri dan dibagikan kepada para tetangga. Bahkan, jika ada buah atau biji yang jatuh langsung dari atas pohon, tetangga hingga orang lain bisa ambil langsung di lahan siapa pun, asalkan pamit terlebih dulu kepada pemiliki, dan pemilik biasanya akan cuma-cuma memberinya.

Ilustrasi jengkol (Sumber: gardencenter.com)
Ilustrasi jengkol (Sumber: gardencenter.com)
Tapi kini berbeda, apapun yang ada di lahan orang, sepertinya harus berpikir dua kali untuk meminta apalagi mengambil tanpa sepengetahuan yang punya. Pasalnya zaman telah berubah, semua benda ada nilai taksirnya.

Bisa-bisa kalau asal ambil nanti jadi panjang persoalan, dikhawatirkan berujung pada proses hukum. Kan, sudah banyak contoh kejadian di masyarakat, mengambil satu biji kemiri yang jatuh, yang tergeletak di bawah pohon bisa kena denda apabila pemilik lahan tidak mengizinkan. 

Jengkol atau Jaring, Aroma dan Tingginya Permintaan Pasar

Jengkol atau jaring, seperti ceritas di atas, dulu juga tidak dijual di kampung saya, bahkan banyak ditebang dan tidak terlalu diurus oleh petani. Hanya ada beberapa batang yang sengaja dirawat, dua atau tiga batang di lahan penduduk. Selebihnya akan ditebang, diambil kayunya sebagai kayu bakar.

Berbeda dengan 5 tahun ini, tepatnya tahun 2015. Semua hasil bumi mulai punya harga dan selalu ada permintaan. Seperti harga jengkol cukup lumayan tinggi, per kilogram ditaksir seharga Rp 8.000 sewaktu musim panen, bahkan lebih mahal dari harga ayam maupun Ikan per kilogram.

Terkadang permintaan skala besar pun dari luar kota cukup signifikan. Bahkan "toke" atau penadah dari luar kota, pun kerap mencari stok bahan ke desa-desa karena adanya permintaan dari Sumbar, Jambi, Sumsel dan Lampung. Melalui para "toke" yang ada di desa (tentunya telah ada kerja sama), nantinya mereka yang akan mengirim permintaan jengkol ke daerah tujuan.

Karena tingginya tingkat permintaan, terkadang Jengkol di lahan masyarakat sering jadi rawan maling. 

Kata teman, hewan paling berbahaya untuk tanaman jengkol bukan tupai, tapi tupai betambut hitam, yaitu pencuri buah jengkol. Biasanya, di musim panen jengkol para petani sudah mewanti-wanti maling. 

Konon, satu batang pohon jengkol yang telah berusia puluhan tahun bisa mencapai 500 Kg/batang. Bayangkan, jika di lahan terdapat puluhan atau ratusan batang pohon jengkol dan dikali harga per kilogram Rp 8.000. Wah tentunya penghasilan yang didapat akan banyak sekali.

Maka, membudidayakan tanaman jengkol dalam skala besar musti dicoba. Setidaknya pada lahan yang tidak terurus atau digarap di lahan kosong. Sebab, sekarang rata-rata kebanyakan orang lebih mengandalkan budidaya kopi. Padahal harga kopi itu cenderung turun naik, faktor cuaca yang semakin tak menentu, dapat berujung panen kopi kurang memuaskan.

Minimal bagi yang ingin memulai investasi mendatang, jengkol, kemiri, pinang merupakan bisnis yang memiliki prospek menjanjikan. Bahkan saya sendiri sudah budidaya jengkol, meski masih menanam 15 batang, kemiri 20 Batang, dan pinang sepanjang batas lahan dengan lahan orang lain. Tapi saya yakin, bisnis ini akan menguntungkan jika dijalani dengan serius. 

Ya, meskipun jengkol memiliki aroma yang menyengat dan rasanya tidak disukai oleh semua orang. Tapi harganya terus kian melambung, permintaan pasar semakin tinggi. Aroma permintaan jadi pertimbangan.

SALAM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun