Di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025 ini, Prabowo menyampaikan di Bogor bahwa semangat kita sekarang jangan lagi "Kumaha engke, tapi engke kumaha". Artinya jangan lagi bagaimana nanti, tapi nanti bagaimana. Frasa nanti bagaimana yang membatalkan bagaimana nanti ini sebenarnya bukan nasihat baru. Ucapan yang diungkapkan Prabowo ini memang kritik internal yang menyebar di masyarakat Sunda yang memiliki kecenderungan untuk menyerahkan urusan, "gimana nanti aja".
      Kumaha engke memang terkesan menyepelekan bahkan tidak hati-hati atau sembrono. Kalau ada pilihan antara nekat dan berani, kumaha engke lebih dekat dengan nekat. Berani melakukan sesuatu tanpa memperhitungkan risiko. Misalnya seorang bobotoh yang berangkat ke Jakarta, untuk menonton Persib, tanpa bekal apa-apa. Ia nekat saja ke sana demi semata menonton Persib. Tak peduli akan tidur di mana dan mau makan apa.
      Kumaha engke juga bisa berkesan positif pada konteks lain. Ia bermakna tawakkal, menyerahkan urusan pada Yang Maha Kuasa setelah mati-matian mengusahkannya. Pertanyaannya, bagaimana contoh kumaha engke yang berkesan positif ini?
      Mari pikirkan konteks budaya masyarakat Sunda berada. Di manakah umumnya mereka tinggal? Di pedesaan yang akrab dengan pertanian bukan? Kumaha engke seakan menjadi mantra pereda kekhawatiran akan padi yang diharap penuh kematangannya. Setelah lelah membajak, sang petani ucapkan kumaha engke. Lalu esoknya ia menanam, ia ucapkan lagi mantra. Esoknya ia memupuk, ia ucapkan lagi.
      Pun dengan engke kumaha, satu sisi ia merupakan kesiapsiagaan mengantisipasi dampak dari perbuatan yang dilakukan. Satu sisi ia merupakan wujud kekhawatiran akan masa depan. Misteri akan masa depan menarik pikir untuk memperkirakan impian sekaligus mimpi buruk yang mungkin terjadi.
      Masa depan yang berupa impian sangat diharap-harap. Sampai-sampai ketika mengupayakannya pun, sensor-sensor tubuh kita tertidur. Tak sadar dengan apa yang sedang dilakukan saking ingin segera tiba di pelabuhan mimpi yang diharapkan.
      Sebegitu inginnya pada sampai di pelabuhan impian, diri kita menghindar sejauh mungkin dari mimpi buruk kapal yang karam. Sibuk dengan engke kumaha, diri lebih memilih untuk tetap berada di rumah. Tubuh berada di rumah sambil berpikir dan berputar-putar pada pertanyaan, "nanti bagaimana".
      Dua paragraf di atas setidaknya menjadi alegori dari harap-cemas yang timbul dari pikiran tentang masa depan. Paling tidak, yang tergambar pada otak penulis yang juga masyarakat Gen Z. Kekhawatiran akan masa depan bahkan disinggung dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 155 sebagai sesuatu yang dijanjikan akan diujikan. Ia dibahasakan dengan al-khauf yang artinya dalam kamus al-furuq al-lughawiyyah ialah dugaan akan terjadinya bahaya secara ragu.
      Maka, sikap antisipatif atau engke kumaha sepertinya sudah terlalu berlebihan di masa kini. Kalau tidak mau dikatakan berlebihan, sikap antisipatif bisa dikatakan sudah mendarah daging pada setiap insan Gen Z. Antisipatif yang berujung pada kecemasan melanda masyarakat Gen Z dengan persentase sekitar 47% berdasarkan survei global yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian Gallup.
      Imajinasi yang berlebih terkait masa depan ini diakibatkan oleh akses informasi yang begitu mudah bagi kalangan Gen Z. Belum dilaksanakan pun, Gen Z sudah bisa memvisualisasikan akibat dari laku melalui informasi yang ia tangkap. Syukur kalau benar terjadinya, kalau tidak, ia hanya menjadi beban kecemasan pada jiwa.