Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Seandainya Kampus Guru Terbaik Ada di Papua

14 Juni 2018   07:45 Diperbarui: 14 Juni 2018   14:19 1817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketidakhadiran guru, kualifikasi guru, dan juga kegagalan pemerintah (pusat dan daerah) dalam mereformasi sistem dan metoda pendidikan saling berkelindan menciptakan calon pelanjut Papua yang minim akses ke pendidikan sehingga minim pengetahuan.

Hal yang buat miris bisa kita baca pada laporan Bobby Anderson. Konon Sekolah Tinggi Kegurun dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kristen Wamena di daerah pegunungan Kabupaten Jayawijaya --salah satu sekolah penghasil guru di Provinsi Papua- harus menyediakan waktu satu setengah tahun hanya untuk remedial intensif pengenalan aksara dan angka untuk semua calon mahasiswa sebelum memulai masa perkuliahan.

Padahal Kemenristekdikti pada tahun 2017 hanya menempatkan STKIP Kristen Wamena di posisi 84 dari 104 kampus yang dilakukan penilaian. Peringkat umumnya berada di posisi 2000 sekian. Ini ironi yang membuat miris.

Kondisi itu memperlihatkan dengan jelas bahwa Papua (dan sebenarnya juga beberapa tempat di Papua Barat) sangat timpang dari segi pendidikan. Pendidikan dasar lemah kualitasnya menyebebkan jenjang ke atasnya juga lemah. Sebaliknya, posisi jenjang pendidikan tinggi yang rapuh, lalu terjun ke institusi sekolah sebagai pendidik, pada akhirnya akan kembali juga pada output siswa yang dihasilkan. Tidak ada usainya. Ironi lingkaran tak ada ujung ini harus dipotong dan dibenahi dengan sejuta keseriusan.

Ada pengalaman yang bikin terenyuh ketika menjadi relawan guru selama setahun (2014-2015) di satu kabupaten di Papua Barat. Saya pernah dihadapkan pada masalah sekolah yang benar-benar minim. 

Waktu itu, saya datang diskusi dan berbagi praktik mengajar. SD ini berada paling pelosok dari distrik tempat saya mengabdi. Sekolah ini hanya memiliki 2 guru PNS untuk 6 kelas, Kepala Sekolah dan Guru Agama. Demi membantu KBM, Kepala Sekolah inisiatif mengangkat 3 guru sukarela dari kampung itu. Ketiga hanya lulusan tingkat menengah atas. Gedung perpustakaan memang dalam kondisi baru tapi tanpa buku sama sekali. yang terisi.

Tiga tahun setelahnya, saya ketemu lagi dengan Kepala Sekolah di Makassar. Saya tanya, apakah kakak guru yang tiga orang itu masih mengajar? Katanya iya. Saya tanya lagi, apakah permohonan guru PNS dikabulkan pemerintah? Jawabnya tidak. Sekali lagi: guru. Guru yang hadir mengajar di kelas meruapakan kunci agar pengetahuan dapat hadir di benak anak-anak Papua.

Semuanya bermuara pada bagaimana pemerintah menciptakan sumber daya manusia yang mampu mengelola pendidikan dengan manajemen yang baik dan efektif, guru yang selalu hadir di kelas dan mampu mengelola kelas dengan baik.

Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan di Papua

Peran dan inisiasi masyarakat tidak kita nafikan, juga, telah berperan sangat jauh dalam pendidikan. Di Papua Barat misalnya, yayasan dan inisiasi sekolah di prakarsai oleh YAPIS (Yayasan Pendidikan Islam), YPK (Yayasan Pendidikan Kristen), YPPK (Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik). Tiga yayasan itu juga menunjukkan tingginya toleransi kehidupan di Papua Barat. Sementara di Papua ada Yayasan Yasumat yang tenaga pendidiknya mengajar hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Yahukimo. Juga ada Narwastu, lembaga swadaya lain yang memberikan pelayanan pendidikan di Kabupaten Mamberamo Tengah.

Sekitar 3 juta masyarakat asli Papua berbicara dalam 250 bahasa yang berbeda, hidup dengan keunikan budaya masing-masing dan dengan kondisi geografis yang sangat beragam. Sebagai contoh, anak-anak suku Dani kesulitan menyerap pembelajaran di kelas-kelas awal karena menggunakan bahasa Indonesia, bukan dengan bahasa Dani. Baru setelah Yayasan Kristen Wamena (YKW) mengidentifikasi 1000 kata Indonesia yang familiar untuk penyusunan kurikulum yang dipadukan dengan bahasa Dani, anak-anak merespon dengan sangat positif dan lebih cepat menguasai pelajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun