Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Daripada Mengeluh, Mari Jaga Tradisi Jajanan Lokal

19 Januari 2017   13:09 Diperbarui: 19 Januari 2017   18:33 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.jenzcorner.net/

Hitungan tanggal di Januari baru saja lewat setengah memberi sejumlah keterkejutan. Salah satunya dua toko kue diluncurkan nyaris bersamaan di Makassar oleh artis dari Jakarta. Efek kejutnya tidak sampai di situ, mereka menggunakan Makassar bagian tak terpisahkan dari nama produk. Tiba-tiba, produk ini juga kemudian didaulat pemiliknya menjadi ‘oleh-oleh na Kota Makassar, Tena Lawanna’ (oleh-oleh Kota Makassar, tak tertandingi).

Seolah-olah produk cake yang dihasilkan merupakan sajian tradisional khas. Lalu kemudian dikemas apik, teknik pembuatan modern, atau bahan serta bumbu masak lokal, misalnya. Setidak-tidaknya, mereka menyajikan cita rasa Makassar dan Sulawesi Selatan. Ternyata, yang kita harapkan jauh dari itu.

Eits, jangan buru-buru salah sangka. Saya tidak ada maksud antipati. Saya juga tidak ada minat mengonsumsi cake and bakery dengan gula melimpah yang dihiasi warna seperti pelangi. Bagi saya, yang cuma warga biasa ini, Sanggara peppe’ plus sambal cobek, ditutup sajian lembut lumer di mulut dan lidah seperti Kue Barongko, bagi saya lebih dari cukup (cukup balala ‘rakus’. hehe).

Sebagai masyarakat, saya tentu senang kedatangan ini. Bahwa pasar oleh-oleh di Makassar menunjukkan indikasi bertumbuh dan bergeliat. Tidak perlu repot-repot menolak dua toko kue ini. Justru saya rasa, malah menyemarakkan ragamnya oleh-oleh (khas dan tidak khas) yang dijual di Makassar. Turis domestik dan internasional jadi punya lebih banyak alternatif buah tangan untuk keluarga di rumah.

Justru sebaliknya, apresiasi pantas kita berikan karena mereka sudah bela-bela menanamkan investasinya di Makassar. Setiap produk juga punya jenis targetan pasar tersendiri. Yah, setiap orang ada rejekinya masing-masinglah. Makasih loh ya, sudah jauh-jauh datang kemari.

Tidak perlu panik juga lahan pelaku lokal usaha bakery and cake menjadi terserobot pendatang baru yang mengambil tempat lebih megah dengan tampilan meyakinkan. Mereka juga datang ke sini karena melihat market share Makassar yang potensial. Mereka juga cari rejeki kan ya. Sok atuh, silakan.


Ditilik dari potensi laku atau tidaknya, dua toko baru tersebut di atas kertas sudah menang duluan. Mereka dua tiga langkah lebih maju. Kepopuleran sang pemilik, gencarnya strategi marketing, social media ecosystem yang mereka bangun, dan tentu saja, inovasi produk jualan toko tersebut.

Di satu sisi, upaya tersebut kita beri applause bakal mendongkrak daya beli masyarakat terhadap penganan ‘yang katanya khas’ Makassar. Pada sisi lain, kita juga menyimpan kekhawatiran, yang sebenarnya juga belum tentu benar.

Kita tidak menginginkan kue tradisional ‘yang 100 persen khas’ itu kemudian dianggap lebih rendah tingkat kelokalannya daripada toko-toko modern tersebut. Semoga saja memang tidak benar adanya. Kalau benar, ya, kita harus ‘melawan’.

Hal lain yang dikhawatirkan, para traveller yang singgah ke Kota Daeng lebih mengganggap ‘kue artis dari Makassar’ di outlet bakery baru dan cantik itu sebagai tempat icip-icip oleh-oleh. Dibanding sajian penganan lokal yang juga sama modernnya. 

Ketimpangan ini yang harus diminimalkan. Tentu saja bukan dengan menolak eksistensi, tapi pada melebihkan upaya. Agar UKM lokal dan sosok-sosok konsisten yang senantiasa menjaga tradisi local cuisine bisa berkompetisi secara sehat dan bermartabat.

Barangkali pengusaha kuliner Makassar, lembaga yang fokus menangani Ekraf (Ekonomi Kreatif), dan ekosistem kuliner yang bertumbuh secara organik di kota ini bisa secara bersama-sama merancang strategi yang jitu merebut hati pasar. Siapa lagi dong yang mau menjadi produsen produk jajanan lokal kalu bukan kita sendiri. Tul, nggak?   

Ambillah contoh oleh-oleh dari Thailand. Oleh-oleh bisa didapatkan di setiap sudut Thailand, enteng dibawa-bawa, distribusinya cepat, ruang produksinya banyak, dan permintaan datang tak pernah henti. Ini karena ekosistemnya ada, dan sudah terbangun sejak lama.

Kalau di Indonesia, yang paling gede tempatnya terpusat. Pasar Kue Subuh namanya. Tempat aktivitas jual-beli tradisional yang menjual berbagai macam penganan dan kudapan tradisional khas Pulau Jawa dan daerah-daerah lain di Indonesia. Puluhan jenis kue tradisional dijajalkan di sana. Buka dari pukul 9 malam hingga pukul 6 pagi.

Dulu lokasinya cuma di Pasar Senen. Sekarang lokasinya juga ada di Blok M dan bilangan Bintaro. Ada puluhan bahkan ratusan jenis penganan khas. Satu jenis diproduksi hingga angka seribuan biji per jenisnya. Meski cake dari luar Indonesia sudah mulai masuk berupa ragam, tapi magnetnya tetap saja kue tradisional.     

Menjaga tradisi, memacu ekonomi lokal

Tapi, jika ingin benar-benar ingin membawa pulang rasa Makassar ke rumah, saya tidak sarankan lho untuk beli buah tangan di kedua tempat yang baru itu. Soalnya, itu sungguh-sungguh bukan yang dicari dari Makassar. Kalau sekadar mencari oleh-oleh dengan label Makassar sih, silakan. Anda mau yang khas? Ya datanglah ke pasar-pasar tradisional.  

Hal bagus kita tiru barangkali datang dari Jakarta Food Adventure (JFA). Merupakan trip organizer berbasis komunitas yang mengeksplorasi budaya kuliner tradisional. Targetnya adalah wisatawan asing.

Lebih dulu ada, Bondan Winarno menggawangi Jalansutra. Sebuah komunitas jalan-jalan dan pencinta makanan. Tahun kemarin, muncul laporan di harian Kompas yang sungguh demi Tuhan menggugah selera saya. Jadi, ada sekitar sepuluhan turis asing ditemani Om Bondan jalan-jalan berbayar di sejumlah tempat.  

Mereka adalah para ekspat dan wisatawan asing berdompet tebal yang ridho sepenuh jiwa merogeh kocek ratusan hingga ribuan dollar demi mencicipi dan berinteraksi langsung dengan kurang lebih sepuluh penganan tradisional unik ala totally khas Indonesia. Blusukan di lokasi-lokasi produksi yang sederhana. Siapa yang untung? Kembali ke pelaku lokal, para penjaga tradisi makanan khas.  

Keuntungan yang tidak kalah penting adalah masyarakat bisa merayakan dinamika budaya penganan kaki lima dan tradisional. Meski tidak perlu meniru sepenuhnya, Makassar saya yakin bisa melakukan hal yang serupa.

Di sinilah letak peran para pemangku kepentingan di dunia pariwisata, perdagangan, dan ekonomi kreatif terjun ke lapangan langsung melihat potensi pertumbuhan yang ada. Dan bagaimana ekosistemnya bisa dikembangkan secara organik dari komunitas-komunitas kuliner Makassar yang sudah lebih dulu ada.

Kita tentu tidak ingin the stakeholders hanya berani melayani pemain dan pelaku usaha sukses, pintar bermedia sosial dan punya nama besar, kan? Lantas kapan para pelaku ekonomi jajanan lokal ini –sebagian masyarakat menengah ke bawah- bisa mendapatkan kesempatan bertumbuh yang sama? Harus dihindari kecenderungan seperti itu. Kesan yang ditimbulkan hanya melayani pelaku pelaku kreatif besar dan menyampingkan yang kecil.

Menurut saya, barangkali setidaknya ada dua hal yang harus kita perhatikan bersama-sama. Pertama, dalam rangka menjaga tradisi jajanan lokal, dua ruang ini harus dijaga dengan baik keberlangsungannya. Ruang produksi dan ruang apresiatif.

Ruang produksi merupakan tempat di mana para pelaku usaha kecil menengah memproduksi usahanya. Sementara ruang apresiatif adalah tempat/wadah kreator memamerkan hasil karya buatannya. Katakanlah itu ruang pameran/outlet atau cake shop yang representatif.

Kendalanya, para pemain UKM dan sejumlah persona ini tidak punya ruang apresiatif yang layak, baik segi fisik maupun ruang maya. Mereka terkadang hanya mengandalkan words of mouth, istilahnya, bisik sana-sini. Kemampuan mereka dalam bermain, bergulat dalam strategi ruang digital juga terbatas.

Padahal jika dimaksimalkan, generasi milenial bisa paham cerita-cerita di balik sebuah penganan khas Makassar. Barangkali karena cerita di balik kue atau mengangkat inspirasi konsistennya para pembuat kue tradisional dalam menjaga warisan turun-temurun resep keluarga, misalnya, kue putu cangkir, barongko, atau apamparanggi (kue apang).

Para pembuat jajanan ini begitu khas sehingga barangkali Anda tidak akan mendapatkannya di mana pun. Hanya di tempat itu, dijual di pasar tradisional, atau di kios-kios kecil yang sejak dulu kondisinya begitu. Mengapa? karena sifatnya yang kultural. Tradisi yang kuat mengakar. Ada nilai budaya dan tradisi yang kuat mengakar di situ. Tidak bisa dibeli ataupun ditukar produk jajanan semodern apa pun itu. Siasat paling sederhana, influencers –bloggers, instragamers, vloggers, local public figures, dll- rela menjadi brand ambassador yang diharapkan menaikkan rating mereka di kancah dunia gastronomi. Secara tidak langsung, kita berarti turut menjaga warisan budaya.

Kedua, saya merasa wajib hukumnya tercipta crossing collaboration, meminjam istilah Mel Ahyar. Para pelaku usaha ini punya semacam kolaborasi produk tradisional dan modern dessert tersebut, baik dari segi bahan maupun teknik pembuatan. Lalu kemudian lahirlah beberapa bakery baru yang smells-nya lokal.  

Atau katakanlah seperti ini. Pelaku besar ini jika dimungkinkan menjadi etalase bagi jajanan tradisional daerah. Di samping mereka menawarkan produk andalan toko, juga memajang penganan tradisional murah. Ini kita harapkan bisa meningkatkan para pelaku usaha lokal tanpa meninggalkan tradisi. Kedengarannya naif ya? Ah sudah, biarkan saja.

Contohnya, outlet toko besar menyajikan atraksi langsung bagaimana pembuatan langsung barongko (lagi-lagi barongko, saya suka). Juga dangke misalnya, yang sekali waktu saya saksikan langsung di pasar tradisional Baraka, sebuah daerah pegunungan di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Proses pembuatannya unik dan menyimpan kesan.

Pada akhirnya, upaya harus dilebihkan. Lalu, mari kita menawarkan dan menyajikan apa selayaknya dijual dan mempertahankan yang sepatutnya dipertahankan. Seperti nilai tradisi dalam jajanan oleh-oleh lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun