Beberapa waktu lalu, saya tiba-tiba melakukan sebuah dialog spontan, tanpa aba-aba dan rencana.
"Yaah, gak seru dong jadi Tuhan. Gak bisa tergantung sama orang. Misal sekadar ngeprank Mia (nama teman penulis) yang lagi mager di rumah supaya bukain pintu kantor."
Kedengarannya memang konyol, tapi kalimat iseng itu bikin saya merenung cukup jauh.
Mungkin, memang gak seru kalau kita bisa segalanya sendiri.
Bayangkan jadi sosok Maha Kuasa: semua bisa dilakukan sendiri, gak butuh bantuan siapa pun. Gak ada salah paham. Gak perlu nungguin orang. Tapi juga... gak ada kejutan, gak ada tawa, gak ada alasan untuk minta tolong, atau sekadar ngobrol iseng.
Justru karena kita terbatas, kita bisa nyambung dengan orang lain. Kita belajar bilang "tolong", "maaf", dan "terima kasih". Kita menunggu, menyesuaikan, tertawa, dan kadang jengkel juga. Tapi di situlah hidup terasa nyata.
Pernah gak sih, kamu lagi buru-buru, eh malah harus nunggu teman yang telat jemput? Atau pernah ngerasain deg-degan nungguin teman bales pesan penting? Atau lebih sederhana lagi: kamu pengen makan bareng, tapi ternyata semua teman lagi pada diet. Hal-hal kecil seperti ini memang bikin repot. Tapi diam-diam, itu juga yang bikin hari-hari kita punya cerita.
"Justru karena kita gak bisa semuanya sendiri, hidup jadi punya cerita."
Kalau semuanya bisa dilakukan sendiri, mungkin hidup akan lebih cepat, lebih efisien, dan lebih rapi. Tapi... juga mungkin lebih sepi.
Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis asal Prancis, percaya bahwa manusia tidak memiliki esensi bawaan. Dalam pandangannya, "eksistensi mendahului esensi"---artinya, kita membentuk jati diri kita sendiri lewat tindakan, pilihan, dan hubungan yang kita bangun setiap hari (Sartre, 1946). Jadi manusia itu membingungkan, tidak sempurna, dan seringnya bergantung. Tapi justru karena itu, kita bisa merasakan hidup.
Sementara dalam psikologi, Abraham Maslow dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan menempatkan "cinta dan rasa memiliki" (love and belongingness) tepat di atas kebutuhan dasar fisik dan keamanan. Ia menyebut bahwa manusia butuh merasa menjadi bagian dari kelompok dan punya relasi yang bermakna agar bisa berkembang secara psikologis (Maslow, 1954).