Hujan baru saja reda sore itu. Udara masih menyimpan aroma tanah basah, bercampur wangi dedaunan yang diguyur rintik sejak siang. Cahaya matahari sore menerobos celah-celah awan, melukis warna emas di sepanjang jalan gang kecil yang basah.
Edo melangkah pelan. Usianya enam belas tahun, usia di mana rasa penasaran sering kali mengalahkan rasa takut. Teman-teman sekolahnya bercerita, ada gadis baru di lingkungan itu---pendiam, pemalu, dan jarang keluar rumah. Katanya, rumahnya bercat putih dengan pagar besi hitam di ujung gang.
Dan di sanalah Edo kini berdiri.
Gadis itu ada di depan rumah, setengah bersembunyi di balik pagar. Rambutnya hitam sebahu, sedikit bergelombang karena lembab udara. Jemari mungilnya memegang erat gagang pagar, seolah itu adalah tembok pelindung. Matanya menunduk, seakan tak ingin menatap dunia terlalu cepat.
Edo membersihkan tenggorokannya, mencoba terdengar biasa.
"Halo," sapanya.
Gadis itu sempat diam, lalu mengangkat kepalanya sedikit. "Halo," jawabnya, nyaris tak terdengar.
"Aku Edo," katanya, berusaha tersenyum. "Tinggal di ujung gang, dekat warung Pak Syamsul."
Ada jeda sejenak. Gadis itu menatap singkat, lalu kembali menunduk. Suaranya lembut, nyaris seperti rahasia yang diucapkan hanya sekali seumur hidup.
"Ines."
Edo mengulang dalam hati. Ines. Nama itu sederhana, tapi entah mengapa, terasa seolah baru saja ia temukan di halaman pertama sebuah buku yang akan terus ingin ia baca.
Hari-hari berikutnya, Edo punya banyak alasan untuk melewati rumah itu. Kadang pura-pura berbelanja ke warung, kadang hanya bersepeda pelan sambil berharap Ines ada di depan rumah. Terkadang ia hanya melambaikan tangan. Kadang mereka mengobrol ringan---tentang sekolah, tentang cuaca, atau sekadar menertawakan seekor kucing yang suka tidur di teras rumah Edo.
Ines tak banyak bicara, tapi senyumnya selalu cukup membuat sore menjadi lebih hangat.
Namun, seperti semua cerita indah yang terlalu singkat, tanpa tanda, ia berakhir.
Sore itu, pagar terkunci rapat. Tirai jendela menutup semua cahaya. Besoknya sama. Seminggu, sebulan. Hingga Edo akhirnya mendengar kabar dari seorang tetangga yang sedang menyapu halaman.
"Mereka pindah, Dek. Mendadak. Katanya ikut orang tuanya kerja di luar kota. Nggak tahu kemana."
Tidak ada surat. Tidak ada pesan. Tidak ada perpisahan. Hanya kepergian yang meninggalkan diam.
Tahun-tahun berjalan. Edo lulus sekolah, bekerja, menikah, punya anak. Tapi di sudut hatinya, nama itu tetap tinggal---seperti titik kecil di peta hidupnya yang tak pernah bisa ia hapus.
Puluhan tahun kemudian, dengan rambut yang mulai memutih, Edo mencoba mencari jejaknya. Ia mengetik nama itu di mesin pencari, membuka halaman demi halaman media sosial, bertanya pada teman-teman lama, bahkan mendatangi kota yang pernah ia dengar samar dari gosip dulu. Semuanya berujung pada kekosongan.
Suatu sore, ia duduk di teras rumahnya. Langit sore hari itu mirip sekali dengan sore ketika mereka pertama bertemu---langit jingga, udara basah, dan angin yang pelan sekali berhembus.
Edo menatap kosong ke jalanan. Dalam hati ia berbisik, seolah kepada seseorang yang mungkin tak akan pernah mendengarnya:
"Kalau saja aku sempat bilang... bahwa aku menyukaimu sejak pertama kali kau menyebut namamu. Kalau saja aku punya satu menit lagi untuk melihatmu, aku akan minta kau jangan pergi begitu saja. Tapi hidup kadang hanya memberi kita satu bab, lalu menutup buku sebelum kita sempat membaca halaman berikutnya."
Ia menutup mata, membiarkan kenangan itu mengalir: pagar besi hitam, rambut basah oleh udara lembab, senyum malu-malu, dan suara lembut yang mengucapkan satu kata yang, puluhan tahun kemudian, masih bergema di hatinya---
"Ines."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI