Ines tak banyak bicara, tapi senyumnya selalu cukup membuat sore menjadi lebih hangat.
Namun, seperti semua cerita indah yang terlalu singkat, tanpa tanda, ia berakhir.
Sore itu, pagar terkunci rapat. Tirai jendela menutup semua cahaya. Besoknya sama. Seminggu, sebulan. Hingga Edo akhirnya mendengar kabar dari seorang tetangga yang sedang menyapu halaman.
"Mereka pindah, Dek. Mendadak. Katanya ikut orang tuanya kerja di luar kota. Nggak tahu kemana."
Tidak ada surat. Tidak ada pesan. Tidak ada perpisahan. Hanya kepergian yang meninggalkan diam.
Tahun-tahun berjalan. Edo lulus sekolah, bekerja, menikah, punya anak. Tapi di sudut hatinya, nama itu tetap tinggal---seperti titik kecil di peta hidupnya yang tak pernah bisa ia hapus.
Puluhan tahun kemudian, dengan rambut yang mulai memutih, Edo mencoba mencari jejaknya. Ia mengetik nama itu di mesin pencari, membuka halaman demi halaman media sosial, bertanya pada teman-teman lama, bahkan mendatangi kota yang pernah ia dengar samar dari gosip dulu. Semuanya berujung pada kekosongan.
Suatu sore, ia duduk di teras rumahnya. Langit sore hari itu mirip sekali dengan sore ketika mereka pertama bertemu---langit jingga, udara basah, dan angin yang pelan sekali berhembus.
Edo menatap kosong ke jalanan. Dalam hati ia berbisik, seolah kepada seseorang yang mungkin tak akan pernah mendengarnya:
"Kalau saja aku sempat bilang... bahwa aku menyukaimu sejak pertama kali kau menyebut namamu. Kalau saja aku punya satu menit lagi untuk melihatmu, aku akan minta kau jangan pergi begitu saja. Tapi hidup kadang hanya memberi kita satu bab, lalu menutup buku sebelum kita sempat membaca halaman berikutnya."
Ia menutup mata, membiarkan kenangan itu mengalir: pagar besi hitam, rambut basah oleh udara lembab, senyum malu-malu, dan suara lembut yang mengucapkan satu kata yang, puluhan tahun kemudian, masih bergema di hatinya---