Mohon tunggu...
Mujab
Mujab Mohon Tunggu... Wahana menuangkan karya dan gagasan

Saya aktif di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah. Selain itu aktif di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah sejak tahun 2003 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Public Speaking Pejabat (Jangan) Jelek

11 September 2025   22:28 Diperbarui: 11 September 2025   22:28 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rakyat Indonesia adalah pekerja keras. Pagi buta kita sudah berangkat, berjuang demi keluarga, membangun hidup, dan pada saat yang sama, menyokong negara. Kita bayar pajak, taat aturan, dan terus bergerak maju di tengah tantangan yang tidak ringan. Namun, di tengah semua perjuangan itu, kita sering kali merasa lelah bukan karena pekerjaan, melainkan karena "omong kosong" yang keluar dari mulut para pejabat. Pernyataan yang tak berempati, janji yang hambar, atau bahkan pernyataan yang memicu kegaduhan. Kita sering lupa bahwa kemampuan bicara seorang pemimpin itu bukan sekadar urusan komunikasi, melainkan cerminan dari seluruh kapasitas mereka. 

Publik sering kali melihat kemampuan berbicara hanya sebagai keterampilan lisan semata. Padahal,  public speaking  seorang pejabat adalah jendela yang menunjukkan apa yang ada di balik pikiran dan hati mereka. Pernyataan yang ceroboh, arogan, atau penuh janji manis tanpa isi, sesungguhnya adalah bukti dari  darurat kompetensi . Ketika seorang pejabat tidak mampu menyampaikan gagasannya dengan jelas dan terstruktur, itu artinya pemikirannya sendiri tidak terstruktur. Bagaimana mungkin seseorang bisa merumuskan solusi yang rumit jika ia tidak bisa menjelaskannya dengan sederhana? Ia mungkin tidak benar-benar memahami masalah yang dihadapi rakyat, bahkan mungkin tidak memiliki strategi yang matang untuk mengatasinya. 

Lebih dari itu, public speaking juga menjadi termometer untuk mengukur  darurat empati . Kita sering mendengar pejabat berbicara tentang "pertumbuhan ekonomi" dengan nada bangga, padahal di saat yang sama kita sedang berjuang menghadapi harga kebutuhan pokok yang terus melambung. Pernyataan yang tidak sensitif semacam itu menunjukkan jurang yang menganga antara realitas rakyat dan dunia para pejabat. Mereka seolah-olah hidup di planet yang berbeda, di mana kesulitan rakyat hanya menjadi angka-angka di atas kertas. Pernyataan mereka yang hambar dan tanpa rasa menunjukkan bahwa penderitaan kita tidak sampai ke hati mereka. 

Mungkin sebagian dari kita bertanya, mengapa kita harus peduli dengan cara pejabat berbicara? Bukankah yang penting mereka bekerja? Tentu saja, kerja nyata itu penting. Tapi, perhatikanlah, pernyataan yang sembrono sering kali menjadi awal dari sebuah kebijakan yang buruk. Ketika seorang pejabat membuat pernyataan yang memicu kegaduhan, energi kolektif kita terbuang untuk mengelola amarah dan rasa frustrasi. Waktu yang seharusnya kita gunakan untuk bekerja atau membangun hidup, justru habis untuk berdebat di media sosial atau membaca berita yang penuh drama. Kegaduhan ini adalah beban tambahan yang tidak terlihat, yang merusak semangat, ketenangan, dan pada akhirnya, produktivitas kita sebagai sebuah bangsa. 

Di era digital saat ini, di mana informasi mengalir begitu cepat, kemampuan bicara seorang pejabat menjadi semakin penting. Rakyat tidak lagi bisa dibodohi. Dengan mudahnya akses informasi, kita bisa membandingkan kebijakan di dalam dan luar negeri, kita bisa melihat data, dan kita bisa mendengar suara dari berbagai sudut pandang. Pejabat yang mencoba menutupi kekurangannya dengan retorika kosong atau bahkan kebohongan akan segera ketahuan. Kritik yang datang dari publik pun tidak bisa lagi dianggap sebagai angin lalu. 

Penting bagi kita, sebagai rakyat, untuk menuntut lebih. Kita tidak hanya ingin pejabat yang pintar bekerja di belakang layar, tapi juga pejabat yang mampu berkomunikasi dengan hati dan pikiran. Public speaking yang baik dari seorang pemimpin bukanlah tentang kemewahan, melainkan kebutuhan dasar. Pernyataan yang tulus, berempati, dan berorientasi pada solusi adalah bahan bakar yang memompa semangat kita untuk terus bekerja, terus berinovasi, dan terus berkontribusi. Ketika pejabat berbicara dengan jujur tentang tantangan, memberikan alasan yang transparan, dan mengajak kita untuk berkolaborasi, kita merasa dihormati. Kita merasa bahwa pengorbanan kita dalam membayar pajak dan mematuhi aturan tidak sia-sia. 

Pada akhirnya, public speaking seorang pejabat adalah cerminan dari  kualitas kepemimpinan  mereka. Pemimpin sejati menggunakan kata-kata untuk membangun, bukan untuk merusak. Mereka menggunakan komunikasi untuk mempersatukan, bukan untuk memecah belah. Ketika seorang pemimpin berbicara dengan integritas, dengan visi yang jelas, dan dengan empati yang tulus, ia tidak hanya menciptakan ketenangan, tetapi juga menginspirasi kita untuk terus berjuang. Ia mengubah kata-kata dari omong kosong menjadi energi positif yang menggerakkan roda kehidupan kita dan roda pembangunan bangsa. Jadi, di masa depan, mari kita lihat lebih dari sekadar apa yang diucapkan pejabat, tapi lihatlah apa yang ada di baliknya, karena di sana tersembunyi kunci bagi masa depan kita bersama. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun