Green economy atau ekonomi hijau sering dipromosikan sebagai solusi masa depan dalam menghadapi krisis iklim global. Konsep ini menekankan pada pembangunan yang ramah lingkungan, efisien dalam penggunaan sumber daya, dan rendah emisi karbon. Salah satu simbol utama dari narasi ini adalah kendaraan listrik yang dinilai lebih bersih dibanding kendaraan berbahan bakar fosil. Penggunaan mobil listrik dianggap sebagai langkah progresif dalam mengurangi polusi udara dan memperlambat laju pemanasan global.
Namun, di balik citra ramah lingkungan tersebut, tersembunyi praktik yang bertentangan dengan semangat keberlanjutan itu sendiri. Di Indonesia, industri kendaraan listrik sangat bergantung pada ketersediaan nikel sebagai bahan baku utama baterai. Hal ini mendorong ekspansi besar-besaran pertambangan nikel, terutama di wilayah timur Indonesia, yang justru menimbulkan kerusakan lingkungan, deforestasi, dan konflik sosial. Ironisnya, atas nama ekonomi hijau, praktik eksploitasi lingkungan terus berlangsung dalam skala masif.
Tulisan ini akan membahas secara kritis: pertama, bagaimana kendaraan listrik mendorong laju pertambangan nikel di Indonesia; kedua, kontradiksi antara narasi "pertambangan hijau" dan kenyataan di lapangan; serta ketiga, perlunya redefinisi konsep green economy yang lebih adil secara ekologis dan sosial.
Dampak Lingkungan dari Tambang Nikel
Produksi kendaraan listrik bergantung pada material seperti nikel yang digunakan sebagai bahan utama baterai, yang diekstraksi melalui tambang-tambang besar di Indonesia. Sejak 2019, ekspor nikel Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2024, volume ekspor nikel mencapai 1,92 juta ton, naik 53% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan nilai ekspor mencapai US$7,99 miliar . Lonjakan ini sejalan dengan dorongan hilirisasi industri dan meningkatnya permintaan global akan kendaraan listrik.
Namun, ekspansi industri nikel ini membawa dampak serius terhadap lingkungan. Di Halmahera, Maluku Utara, setidaknya 5.331 hektar hutan tropis telah ditebang dalam konsesi pertambangan nikel, melepaskan sekitar 2,04 juta ton gas rumah kaca yang sebelumnya tersimpan di hutan tersebut . Selain itu, pembangunan smelter dan fasilitas pendukungnya turut menyebabkan deforestasi tambahan seluas 5.031 hektar . Di Sulawesi Selatan, aktivitas pertambangan nikel oleh PT Vale Indonesia telah mendorong deforestasi yang luas dalam satu dekade terakhir, dengan konsesi tambang seluas 70.566 hektar .
Tidak hanya kerusakan hutan, pertambangan nikel juga menyebabkan pencemaran air dan konflik sosial. Di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, aktivitas pertambangan telah menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta memicu konflik kepentingan atas lahan dan sumber daya . Laporan WALHI menunjukkan bahwa banyak perusahaan tidak menjalankan reklamasi pasca tambang sesuai ketentuan, meninggalkan lubang-lubang tambang yang membahayakan lingkungan dan masyarakat sekitar .
Alih-alih menjadi solusi, industri nikel justru menciptakan bentuk baru dari kerusakan ekologis yang bertentangan dengan semangat keberlanjutan yang diusung oleh ekonomi hijau.
Retorika “Pertambangan Hijau”
Istilah “pertambangan hijau” kerap digunakan sebagai legitimasi praktik industri, terutama dalam sektor pertambangan nikel yang mendukung produksi kendaraan listrik. Beberapa perusahaan menyatakan telah menggunakan teknologi ramah lingkungan dalam operasional mereka. Namun, data aktual menunjukkan minimnya pengawasan dari pemerintah dan pihak terkait terhadap klaim-klaim tersebut.
Pemerintah Indonesia fokus pada pembangunan smelter dan hilirisasi industri nikel sebagai bagian dari strategi ekonomi nasional. Namun, perhatian terhadap dampak lingkungan lokal seringkali terabaikan. Proyek-proyek besar seperti Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kalimantan Utara, yang diklaim sebagai kawasan industri hijau terbesar di dunia, justru menuai kritik karena dianggap mengabaikan keselamatan lingkungan dan masyarakat lokal.
Kritik dari akademisi dan lembaga swadaya masyarakat menyebut praktik ini sebagai bentuk baru dari greenwashing. Firdaus Cahyadi, pendiri Indonesian Climate Justice Literacy dan mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di IPB University, menyatakan bahwa "green mining tak lebih hanya greenwashing, sebuah upaya memanipulasi kesadaran publik atas lingkungan hidup."
Narasi pertambangan hijau seringkali hanya menjadi alat branding, bukan perubahan nyata. Ibaratnya, istilah tersebut hanya dijadikan sebagai topeng kebaikan untuk menutupi kejahatan terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
Menuju Ekonomi Hijau yang Inklusif
Ekonomi hijau sejati harus memikirkan keadilan ekologis dan sosial secara menyeluruh, bukan sekadar mengganti teknologi tinggi untuk kepentingan pasar global. Transisi energi tidak boleh mengorbankan komunitas lokal yang hidupnya terdampak langsung oleh aktivitas ekstraktif, seperti yang terjadi di wilayah tambang nikel di Indonesia. Mereka sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan atas nama pembangunan hijau yang tidak benar-benar inklusif.
Kebijakan ekonomi hijau yang adil harus disertai dengan transparansi dalam pengambilan keputusan, partisipasi aktif masyarakat terdampak, serta pengawasan lingkungan yang kuat dan independen. Keterlibatan komunitas lokal bukan hanya dalam bentuk konsultasi formal, tetapi dalam proses perumusan hingga evaluasi proyek hijau. Hal ini penting agar keberlanjutan tidak dimonopoli oleh segelintir aktor korporasi dan elite negara.
Selain itu, berbagai inisiatif alternatif seperti pertanian kota (urban farming), penguatan transportasi publik berbasis energi bersih, serta desentralisasi energi terbarukan seperti panel surya komunitas, dapat menjadi arah baru dalam pembangunan hijau. Pendekatan ini tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga membuka ruang partisipasi luas masyarakat dan mengurangi ketimpangan antarwilayah.
Redefinisi ekonomi hijau sangat diperlukan agar tidak hanya berganti warna, dari abu-abu ke hijau, tetapi juga benar-benar mengubah arah pembangunan menjadi lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat serta alam.
Kesimpulan
Kendaraan listrik dan tambang nikel menjadi contoh nyata bahwa ekonomi hijau yang dijalankan saat ini masih menyimpan banyak kontradiksi. Alih-alih sepenuhnya membawa perubahan menuju keberlanjutan, praktik-praktik di lapangan justru menunjukkan kecenderungan eksploitasi baru yang dibungkus dengan label ramah lingkungan.
Dampak ekologis dari pertambangan nikel, penggunaan istilah “pertambangan hijau” sebagai legitimasi tanpa perubahan mendasar, serta absennya keadilan sosial dalam transisi energi menunjukkan bahwa konsep green economy membutuhkan evaluasi dan pembaruan arah. Pembangunan yang mengatasnamakan lingkungan tidak boleh mengabaikan hak dan suara masyarakat terdampak, serta harus menjamin kelestarian alam dalam arti yang sebenarnya.
Pada akhirnya, semangat menyelamatkan bumi tidak boleh menjadi dalih untuk melanggengkan eksploitasi atas nama keberlanjutan. Justru di sinilah pentingnya kita membangun ekonomi hijau yang benar-benar hijau-tidak hanya dalam citra, tapi juga dalam prinsip, proses, dan dampaknya bagi bumi dan umat manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI