Tahun 2024, tahun politik panas. Kontestasi pilpres. Hajatan nasional. Masih sekitar dua tahun lagi sih. Tepatnya pada 14 Februari 2024, pemilu akan digelar. Tapi, atmosfernya sudah mulai terasa dari sekarang.
Nama-nama bakal capres terus menyeruak di ruang publik. Salah satunya, Anies Baswedan, gubernur Jakarta yang dalam hitungan bulan (Oktober 2022) ini habis masa jabatannya.
Ia terus digadang-gadang. Pun terus dinyinyir. Dipuji, sekaligus dibenci, oleh tak sedikit warganet.
Dua tahun itu, dalam kaca mata politik, adalah masa yang sebentar dan sangat penting untuk bergerak. Mencitrakan. Membuat opini publik demi elektabilitas, baik untuk kepentingan partai maupun capres yang akan diusung.
Aksi politik sebagian kelompok sudah jelas-jelas secara terbuka mendukung sang bakal capres. Terus dielus dan dipoles dengan berbagai cara. Biar populer. Maka bikinlah baleho besar-besar. Massif. Dibentuk posko. Ada tim hore-hore. Diberi panggung sesering mungkin.
Beruntunglah bagi mereka yang masih menjabat. Ada nilai tambah. Tidak perlu susah-susah mencari panggung. Karena sering dan dengan gampang langsung muncul di depan publik. Kapan pun dan di mana pun.
Itu terkait kerja rutin selaras tugas dan jabatannya. Aktivitas sosial-politiknya sepanjang 24 jam disorot dan dipublikasikan. Enak.
Sementara bagi yang habis masa jabatannya jelang 2024, ada jeda. Bisa-bisa gigit jari. Tidak bisa lagi unjuk gigi. Menganggur. Sudah nasib.
Atau jadilah pengangguran politik. Agak susah tampil. Seret manggung. Mulai jarang ngomong di depan publik.
Takada pers dan warganet melirik. Karena apa lagi yang mau dilansir. Akhirnya, lambat laun namanya tenggelam dan kiprahnya pun hilang disapu arus berita mereka yang masih menjabat.
Itulah mungkin yang akan dialami seorang Anies Baswedan. Salah seorang yang tadinya punya chance untuk jadi bakal capres 2024.