Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Miris, Pernikahan Bedolan, Klaster Baru Covid-19 di Jakarta

26 September 2020   16:38 Diperbarui: 27 September 2020   11:38 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pelaksanaan akad nikah saat pandemi di KUA (dokpri/MUIS SUNARYA)

Salah satu poin dalam peraturan gubernur provinsi DKI Jakarta tentang pemberlakuan kembali PSBB adalah pelaksanaan akad nikah atau pemberkatan perkawinan hanya diizinkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil.

Miris. Belum genap dua pekan diberlakukannya kembali PSBB di Jakarta, justru muncul klaster baru Covid-19. Klaster yang berasal dari ritual sakral pernikahan bedolan (akad nikah yang dilangsungkan di luar KUA).

Ini tentu saja menyesakkan hati. Betapa tidak. Itu artinya tidak berbanding lurus dengan latar belakang dan tujuan diterapkannya kembali PSBB di Jakarta. 

Berangkat dari situasi yang mengkhawatirkan terhadap kurva penyebaran pandemi yang makin melonjak, dan sudah tidak memadainya kapasitas fasilitas kesehatan atau rumah sakit pasien Covid-19.

Semua kebijakan ini dilakukan tentu sangat mulia dan perlu diapresiasi, sebagai ikhtiar yang terus-menerus untuk memutus mata rantai penyebaran dan penularan Covid-19. Atau, paling tidak, agar kurva penyebarannya melandai, demi kemaslahatan seluruh warga Jakarta.

Keputusan ini sudah gamblang. Seharusnya tidak perlu lagi ada tafsir lain, atau mencari-cari celah untuk bisa melangsungkan akad nikah di luar KUA atau pernikahan bedolan (di rumah, atau di gedung), dengan misalnya, menambahkan anak kalimat, pengecualian mendapat rekomendasi dari gugus tugas Covid-19 (RT/RW). Kenapa?

Karena logikanya, dengan begitu berarti sama saja dengan mematahkan dan mementahkan kembali kebijakan pemprov DKI Jakarta dalam menerapkan kembali PSBB, yang salah satu poinnya terkait mengatur pelaksanaan akad nikah. 

Apalagi hanya membutuhkan surat rekomendasi dari gugus tugas di tingkat RT/RW. Aneh dan taksepadan, keputusan gubernur kok dikalahkan oleh surat rekomendasi RT/RW. 

Mengawal dan menjabarkan peraturan gubernur DKI Jakarta tentang PSBB jilid dua inilah yang pada gilirannya menjadi rancu, bermasalah, dan tidak konsisten di lapangan.

Sikap Kritis dan Autokritik Itu Baik

Coba cermati narasi Anies Baswedan ini ketika keluar peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta tentang pemberlakuan kembali PSBB di Jakarta.

"Realitasnya benar berdasarkan data, bahwa persentase angka kematian akibat Covid-19 di DKI Jakarta saat ini menurun, tapi yang meninggal meningkat tajam." kata gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Sori, Anda paham enggak, maksudnya ini? Sepenggal narasi itu disampaikan oleh Anies Baswedan pada konferensi pers dimulainya pemberlakuan kembali PSBB dua pekan yang lalu.

Bagi yang kurang senang atau yang memang sejak dalam pikirannya, bercokol sikap membenci Anies Baswedan, maka respons atas narasi gubernur DKI Jakarta ini adalah otomatis semburan "lumpur" nyinyir dan perisakan.

Mereka mengolok-olok Anies Baswedan atas kata yang dianggap ganjil dan janggal, kata "kematian" dan "meninggal". Menurut versi mereka, "ya podo bae, sami mawon artinya dari kata kematian dan meninggal itu". Dengan kata lain, mereka mengklaim, bahwa Anies pasti keliru, atau kalau tidak, salah dengan narasinya. Sekilas benar secara leksikal.

Namun, jika dipahami dengan mata hati yang yang jernih dan kepala dingin, hasilnya akan berbeda. Dalam konteks apa dan kenapa narasi itu keluar dari mulut mantan rektor Universitas Paramadina itu.

Jika memahami secara proposional dan tidak melulu mengedepankan pikiran negatif atas narasi Anies Baswedan itu, maka sebenarnya Anies sedang berbicara menggunakan bahasa statistik. Ingat, pahami pernyataan Anies dengan bahasa statistik. Maka dijamin tidak gagal paham.

Maaf, saya awam soal statistik. Tapi, secara simpel atau sederhananya, bisa dijelaskan seperti ini. Sekadar contoh: Misalnya, kasus sebelumnya 5 orang meninggal dari 100 orang positif Covid-19. Ini artinya 5% tingkat kematian.

Sedangkan kasus yang sekarang, 20 orang meninggal dari 1000 orang positif Covid-19. Ini artinya 2% tingkat kematian. Dengan demikian, berarti tingkat kematian turun 3%, sementara jumlah yang meninggal naik atau meningkat, karena yang positif juga jumlahnya naik atau meningkat.

Ini bukan berarti saya sedang ingin mengangkat-angkat dan menyanjung-nyanjung Anies Baswedan. Tapi memang seharusnya ketika kita mengkritik siapa pun dia, adalah baik dan elegan dengan cara bijak, rasional dan proposional, termasuk kepada Anies Baswedan.

Mengkritik siapa pun. Mengkritik orang lain, atau autokritik, sekalipun, adalah baik dan penting. Setidaknya, kritik yang membangun, bersikap etis, elegan, rasional, dan proposional. Tidak merendahkan secara pesonal. Tidak mencemarkan nama baik, dan juga penting, tidak melanggar peraturan perundang-undangan, UU ITE, misalnya.

Cenderung Pernikahan Bedolan

Kembali pada poin, kenapa bisa muncul klaster baru Covid-19 di Jakarta berasal dari pernikahan bedolan atau akad nikah yang dilangsungkan di luar KUA?

Jawabannya, ada sebagian warga masyarakat yang ngeyel dan ngotot supaya akad nikahnya tidak dilangsungkan di KUA. Mereka tetap keukeuh pengin akad nikahnya dilaksanakan di rumah atau gedung (pernikahan bedolan). 

Kerumunan massa tak terelakkan dan ketidakpatuhan pada protokol kesehatan tak terkendali adalah bisa jadi juga faktor penyumbang terpaparnya pandemi. Sikap menyepelekan dan meremehkan terhadap bahaya pandemi kerap muncul dari sebagian masayarakt.

Walaupun sudah jelas kebijakannya bahwa pernikahan bedolan tidak diizinkan saat kembali PSBB diberlakukan di Jakarta. Pandemi masih mengancam, dan siap merenggut nyawa siapa pun, tak pandang bulu.

Pertanyaannya, kenapa sih warga masyarakat cenderung tidak mau akad nikahnya dilangsungkan di KUA, atau harus pernikahan bedolan?

Tradisi atau budaya. Pernikahan itu di samping adalah peristiwa hukum. Artinya, prosesi akad nikah atau perkawinan sah itu harus sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Perkawinan itu  harus dicatat berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Begitu dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan.

Pernikahan juga, tentu sejatinya adalah peristiwa agama. Sarat dengan nilai agama. Kental dengan nilai spiritual, kesakralan, dan ibadah.

Sekaligus, pernikahan adalah peristiwa budaya. Nilai-nilai budaya dan tradisi lokal sering menyertai prosesi pernikahan . Karena tradisi dan budaya itu memiliki nilai-nilai luhur dan makna yang mendalam yang harus tetap dijaga, dirawat, dan dilestarikan.

Ingat, Indonesia adalah negeri yang majemuk. Negeri yang kaya dengan beragam bahasa, adat istiadat, budaya dan tradisi yang sedikit banyak memengaruhi sikap, pandangan dan keyakinan dalam merefleksikan kehidupan sosial dan keberagamaannya.

Inilah pula yang terjadi pada fenomena pernikahan bedolan. Prosesi akad nikah harus dilangsungkan di rumah, adalah erat kaitannya dengan budaya dan tradisi masyarakat kita.

Pernikahan bedolan sudah menjadi budaya dan tradisi yang mengakar dan turun-temurun dari nenek moyang kita sejak lama. Maka mau tidak mau harus mengikuti budaya dan tradisi lama yang sudah berjalan. Mengabaikannya seakan-akan adalah tabu dan pamali.

Budaya dan tradisi pernikahan bedolan sudah melekat dalam kepercayaan warga masyarakat. Maka, pernikahan di KUA dianggap kurang sesuai dengan budaya dan tradisi masyarakat kita.

Gengsi dan gaya hidup. Dalam penikahan bedolan atau prosesi akad nikah dilaksanakan di rumah, tentu pegawai pencatat nikah atau penghulu KUA diundang untuk menghadiri, mengawasi, dan mencatat secara resmi dan legal di rumah calon pengantin.

Kehadiran pegawai pencatat nikah atau penghulu KUA di rumah calon pengantin adalah kehormatan dan kebanggaan bagi sahibulhajat (calon pengantin dan keluarga besarnya).

Makanya, dalam corak masyarakat yang masih tradisional (tidak saja di kampung-kampung, tapi juga di perkotaan), tapi juga sebagian corak masyarakat modern (enggak di kampung, enggak di kota), kedudukan seorang pegawai pencatat nikah atau penghulu KUA (apa pun sebutannya, misalnya lebe, naib, dan lain-lain) itu masih mendapat penghormatan dan penghargaan tinggi di mata masyarakat.

Konsekuensinya, sebagian masyarakat merasa gengsi dan enggan untuk melangsungkan akad nikah di KUA.  Kehadiran pegawai pencatat nikah atau  penghulu di rumah calon pengantin menjadi penting, lebih afdal, dan semarak. Pernikahan bedolan adalah semacam gaya hidup.

Persepsi. Itu semua sudah barang tentu sangat memengaruhi cara pandang atau persepsi masyarakat terhadap pernikahan bedolan. 

Kalau mengikuti cara berpikir sederhana dan pragamatis. Pernikahan itu mau akad nikahnya di rumah atau di KUA sebenarnya sama saja. Yang penting adalah sah. Resmi dan legal. Tidak mesti berpikir kepada tempat di mana akad nikah dilangsungkan. Bedakan dengan resepsi pernikahan.

Ini kan soal persepsi saja!

Kesan orang atau persepsi sebagian warga masyarakat bahwa kurang afdal kayaknya kalau akad nikah dilaksanakan di KUA. Seolah-olah mereka yang menganut pernikahan bedolan itu berseloroh, "Nikah di KUA, no way, apa kata dunia?"

Selain itu, persepsi yang kadung berkembang di masyarakat kita bahwa pernikahan atau prosesi akad nikah yang dilangsungkan di KUA itu pantasmya hanya bagi orang-orang atau masyarakat yang tidak mampu alias kismin (dibaca miskin). Orang kaya atau orang yang mampu (secara materi) mana ada yang akad nikahnya dilakukan di KUA.

Ini kan soal persepsi saja!

Tokoh. Ini juga faktor yang sangat dominan dan sulit untuk dimungkiri. Adalah tokoh masyarakat, pesohor, kiai, pejabat, selebritas, dan lain-lain sebutannya. Pokoknya orang penting, punya kedudukan, status, dan strata sosialnya tinggi di tengah masyarakat dan pranata sosial.

Contoh secara konkret, mana ada seorang presiden, menteri, gubernur, bupati, kiai, selebritas, dan seterusnya yang status dan strata sosialnya tinggi akan menikahkan anaknya, atau melangsungkan akad nikahnya di KUA? Pasti pernikahan bedolan. Sangat mustahil di KUA. Tidak pernah terjadi dalam sejarah pelayanan pernikahan pada KUA selama ini.

Jadi, ketokohan dan status sosial seseorang sangat dominan dan memengaruhi cara pandang atau persepsi orang dalam pelaksanaan pernikahan bedolan. Seakan-akan sangat aib dan tidak layak jika akad nikahnya dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA).

Ini semua adalah tantangan dan keunikan tersendiri dalam pelayanan pernikahan pada KUA. Tidak sedikit faktor yang harus menjadi perhatian serius. Maka pegawai pencatat nikah atau penghulu pada KUA harus cerdas, cergas, cerdik, dan cermat dalam melaksanakan pelayanan publik.

Tidak aneh juga, dalam menjabarkan kebijakan pemprov DKI Jakarta tentang penerapan kembali PSBB kerap terjadi kendala, persoalan pelik, dan dilematis dalam pelayanan pernikahan di tengah masyarakat. 

Bisa jadi pegawai pencatat nikah atau penghulu KUA bersitegang dengan calon pengantin yang bersikeras minta akad nikahnya dilangsungkan di rumah (nikah bedolan), bukan di KUA.

Melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi pernikahan bedolan, bisa sedikit dipahami, tak apa, dan takada yang perlu diperdebatkan (meminjam kuliah bahasa Pak Khrisna Pabichara tentang topik "Tak" di kampus tercinta kita, Kompasiana ini).

Tetapi menjadi miris dan konyol, jika prosesi akad nikah harus dilaksanakan di luar KUA (nikah bedolan) di tengah bahaya pendemi yang terus mengintai siapa pun setiap saat. Sementara, kebijakannya sudah terang benderang, tidak diizinkan. Titik. Tabik. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun