"Agama saya kan mengajarkan seperti itu. Kalau menolak keinginan suami, maka istri dibilang durhaka pada suami, bukan istri yang solihah, melawan suami, tidak taat suami, dan itu sangat berdosa bagi istri. Jadi, mau nggak mau, saya harus nurut saja." ujarnya.
Padahal, ia jelas-jelas dalam hatinya berontak. Menuruti apa keinginan suami untuk bercinta, sementara ia sendiri tidak pernah menikmatinya, dan perasaannya menolak, bahkan menyesakkan hati. Batinnya tersiksa. Sampai-sampai ia berpikir, sampai kapan ia harus menjalani kehidupan seperti ini. Kehidupan yang sangat menyiksa batin, lara, dan nelangsa. Tidak bisa berbuat apa-apa, selain nerimo dengan keadaan, dan manut pada suami.
Ia mengatakan bahwa saat ia melakukannya itu bersama suami, ia sampai terpaksa menutup wajahnya dengan bantal, saking merasa bencinya, dan kesalnya atas apa yang dilakukan suaminya. Walaupun dapat perlakuan dan sikapnya seperti itu, suaminya tetap saja asyik menikmatinya. Aneh memang, kata dia.Â
Ia selalu berharap agar setiap kali melakukan itu, suaminya cepat-cepat terlampiaskan libidonya, dan cepat-cepat selasai. (Ia ceritakan ini dengan kata-kata yang agak vulgar).
"Saya sering setiap kali setelah melakukan itu, saat mandi besar, saya menangis, dan saya benar-benar menjerit dalam hati." begitu pengakuannya.
Kenapa perempuan ini sampai pada perasaan illfeel, dan tidak ada lagi hasrat untuk bercinta dengan suaminya? Perlukah saya ceritakan ini? Sebenarnya, panjang ceritanya.
Makanya, saya jeda dulu saja cerita tentang perempuan paruh baya ini. Yang penting subtansi persoalannya sudah tertangkap, dan dapat. Apa saja itu?Â
Adalah bagaimana menghadapi masalah ketika bercinta tanpa hasrat, dan hilang rasa, atau mungkin berasa hambar, mengiakan, tapi hati menidakkan, atau "ya bermakna tidak" perlukah disudahi? Memahami teks agama yang berhubungan dengan kebutuhan seksual, dan keharmonisan rumah tangga.Â
Ikuti terus tulisan saya selanjutnya, kurang lebih masih berkisar masalah ini, tentang "Cara Mengatasi Ketika Bercinta Hilang Rasa, Jangan Buru-buru Bercerai". Tabik.