Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Soal Ranjang: Istri Bisa Pidanakan Suami, Bukan Hal Baru

27 September 2019   14:22 Diperbarui: 29 September 2019   19:43 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sisa hari-hari berakhirnya masa tugas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014 - 2019, kita menyaksikan fenomena "kejar target" disahkannya beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU).

Publik bertanya-tanya, "Ke mana saja anggota DPR yang terhormat, selama ini, tidurkah mereka?" Entah kenapa mereka ngoyo amat, dan sibuk luar biasa di ujung masa baktinya itu?  Apalagi, beberapa RUU, menurut publik, mengundang kontroversi dan polemik. 

Sampai akhirnya memaksa kaum terpelajar (mahasiswa) dan publik bergerak serentak turun ke jalan lakukan aksi unjuk rasa menyampaikan keberatan disahkannya revisi UU KPK, dan menuntut ditundanya pengesahan beberapa RUU yang masih kontrovesial dan polemik itu.

Sebut saja misalnya, revisi UU KPK yang tergesa-gesa kadung disahkan, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan yang lainnya, yang karena berbagai pertimbangan, DPR akhirnya menunda pengesahannya.

Termasuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan lagi, dan jelas begitu penting dan mendesak untuk segera diketok palu. 

Namun begitu, tampaknya sebagian publik mencurigai RUU ini dengan mengaitkannya pada isu dibolehkannya LGBT, bolehnya hubungan seks di luar nikah (perzinaan) dan pelacuran, serta soal privat yang berkaitan dengan hubungan seksual antara pasangan suami istri sah, istri bisa melaporkan dan memidanakan suaminya, atau sebaliknya, ke pihak yang berwajib.


Mereka kaget dan mengganggap aneh dan ngawur kalau ada undang-undang seperti itu, padahal itu urusan privat. Ngapain negara ikut campur urusan ranjang segala (hubungan seksual suami-istri yang sah). Sengaja kemudian soal ini diviralkan oleh sekelompok orang di media sosial.

Soal kekerasan seksual di ranah privat, antara suami istri yang sah, diatur dalam undang-undang, sebenarnya bukan hal baru. Ini sudah ada undang-undangnya. 

Bahkan UU ini sudah berlaku lama, selama 15 tahun. Kenapa tiba-tiba kok baru sekarang diributkan? Adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mengatur soal ini.

RKUHP dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ada, dan kalau kelak disahkan menjadi UU, tentu tidak serta merta membatalkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT yang sudah lebih dulu berlaku. Tetapi lebih menguatkan, melengkapi, lebih luas dan rinci lagi, terutama mengatur soal kekerasan seksualnya. Bukan saling menegasikan.

Dalam RUU PKS, misalnya, dinyatakan bahwa ada 9 (sembilan) jenis atau bentuk kekerasan seksual, yang tidak diatur secara spesifik, baik dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, maupun KUHP selama ini dan RKUHP itu sendiri.

Kesembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan/atau penyiksaan seksual.

Untuk lebih jelas, saya kutipkan sebagian yang berkaitan dengan masalah kekerasan seksual yang merupakan KDRT menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) itu.

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

Pasal 2

(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan

Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.

Pasal 8

Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Pasal 46

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 47

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 48

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Sampai di sini, jelas bahwa isu kekerasan seksual, urusan ranjang, perkosaan dalam perkawinan, dan istri bisa melaporkan dan memidanakan suaminya, atau sebaliknya, adalah bukan hal baru. 

Kalau sekarang masih ada yang mempermasalahkannya, berarti kurang up date. Atau tampaknya mungkin baru tahu, dan selama ini tidak pernah tahu atau tidak baca saja. Orang yang bergelut di bidang hukum atau suka membaca, tentu sudah tidak kaget lagi dengan soal ini.

Lantas, kenapa ada lagi di RKUHP yang sudah ditunda pengesahannya dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), yang tampaknya akan segera disahkan itu? Yang ingin tahu, biar tidak gagal paham, silakan baca sendiri RUU ini. 

Atau sebagai pengantar kenapa begitu penting dan mendesak disahkannya RUU PKS ini, bisa juga dibaca di sini: Sejumlah Hal Ini, Jadi Alasan UU PKS Harus Segera Disahkan.

Selain itu, berdasarkan data yang dilansir Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2018 menunjukkan bahwa tren kekerasan terhadap perempuan, terutama pada ranah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Ranah Personal (RP) selalu meningkat. Hal ini tentu harus menjadi perhatian dan keprihatinan kita bersama.

Dalam Catatan Tahunan 2018 Komnas Perempuan dirilis bahwa, berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP (ranah personal) yang mencapai angka 7 1% (9.609). Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua KtP di ranah komunitas/publik dengan persentase 26% (3.528) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 1,8% (217). 

Pada ranah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)/Ranah Personal (RP), kekerasan
yang paling menonjol, dan menempati peringkat pertama adalah kekerasan fisik 3.982 kasus (41%), disusul kekerasan seksual  2.979 kasus ( 31%), psikis 1.404 kasus (15%) dan ekonomi 1.244 kasus (13%).

Sumber: Komnas Perempuan
Sumber: Komnas Perempuan
Ini adalah realitas yang terjadi di masyarakat kita. Ada banyak kasus, tidak sedikit korban, terutama perempuan atau istri mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis, efek kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari orang-orang terdekat atau suami sendiri. 

Apa sudah nggak ada lagi rasa kemanusiaan dan empati Anda untuk mereka, di luar sana, yang mengalami penderitaan dan luka berat, baik fisik atau psikis selama ini? Masih manusiakah Anda? Maaf, saya tidak bertanya, "Masih beragamakah Anda?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun