Tapi belum selesai sampai di situ. Tatkala Tuhan mengujinya dengan yang lebih lagi. Tuhan berfirman kepada Ibrahim lewat sebuah mimpi dan memintanya untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Yang sedang beranjak remaja. Konon, berusia 13 tahun. (Lewati saja pendapat yang mengatakan bahwa putra Ibrahim itu putra yang satunya, bernama Ishaq).
Putra yang lama sekali ia nantikan kehadirannya. Bertahun-tahun penantian itu sampai kepalanya memutih dipenuhi uban. Kini ia dihadapkan pada ujian keimanan dan kepatuhannya secara total melampui rasa kemanusiaannya.
Ia penuhi perintah Sang Pencipta itu. Ia jawab dengan pasrah dan tawakal. Tak perlu tanya pada titah Tuhan. Menyerahkan diri sepenuhnya. Ia telah yakin seyakin-yakinnya. ‘Ainul yakin. Keyakinannya tak tergoyahkan oleh apa dan siapa pun. Bisikan setan sekalipun.
Tatkala pedang terhunus tepat di leher Ismail. Tuhan menggantinya dengan domba yang gemuk. Pesan bahwa pengorbanan manusia oleh manusia tidak dibenarkan. Itu mencederai nilai kemanusiaan. Ibrahim telah mengajarkan kita tentang berislam. Pengalaman beragama dengan lurus dan menyeluruh. Pasrah dan menyerahkan diri sepenuhnya.
Hikmah itu menjadi abadi. Pesan profetiknya terus bergulir. Sepanjang waktu. Sampai hari ini. Kita pun masih menapaktilasi jejak–jejaknya. Menyaksikan artefak-artefak dan sisa-sisa warisan peninggalan sejarahnya. Dalam ritual dan manasik haji. Di Mekkah, tanah yang suci dan dihormati. Berkurban di hari Idul Adha dan hari-hari tasyrik, 11, 12 dan 13 Dzulhijah.
Berhaji dan berkurban memiliki tujuan yang sama. Untuk niat mendekatkan diri pada Allah dan menggapai rida-Nya. Tuhan yang menciptakan alam semesta dan semua yang ada. Tanpa terkecuali.
Bertawhid. Inilah pelajaran berharga dari sang bapak monoteisme (abu al-tawhid), dan kekasih Allah (khaliluLLah). Salam sejahtera untuk keduanya, Ibrahim dan putranya, Ismail.
Selamat merayakan Idul Adha 1440 H. Selamat menghadirkan jejak profetik kekasih Tuhan dan bapak monoteisme, Ibrahim, 'alaihi al-salam. []