Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Profetik Ibrahim, Bapak Monoteisme

11 Agustus 2019   11:52 Diperbarui: 14 Agustus 2019   08:37 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagian, kalau nggak begitu ceritanya, Anda nggak bakal nyate sekarang ini. Itulah barangkali salah satu hikmahnya, dan rahasia di balik drama syariat berkurban ini.

Karena ini adalah firman Allah, dan Ibrahim yakin, tidak perlu ia mempertanyakannya lagi. Tapi dengan begitu justru ia berhasil melewatinya.

Yang pada gilirannya melahirkan sikap kepasrahan dan penyerahan diri secara total itu. Ia adalah the real of role model berislam yang hanif.

Ini tentu berbeda dengan sikap Ibrahim pada fase awal. Ia selalu mempertanyakan secara filosofis tentang eksistensi Tuhan.

Tatkala datang gelap. Saatnya malam menyapa. Ibrahim melihat bintang gemintang. Bercahaya di langit. Menghias angkasa. Panorama indah memukau. Dia mengira, itu adalah tuhannya. Tapi ia ragu, saat bintang tenggelam dan lenyap. Tuhan tidak mungkin seperti itu. Menghilang dan lenyap.

Tatkala ia melihat bulan. Bentuknya lebih besar dan cahayanya lebih terang dibanding bintang. Ia menganggap tuhannya. Tapi ia juga ragu, sebentar saja bulan pun tenggelam dan lenyap. Ini pasti bukan tuhan. Tuhan tidak mungkin seperti itu. Menghilang dan lenyap

Tatkala matahari menampakkan wajahnya di pagi hari. Lebih besar lagi dan menyeruakkan sinarnya yang panas. Matahari pun dikira tuhannya. Tapi lagi dan lagi ia ragu. Saat di sore hari matahari menyembunyikan wajahnya. Sinarnya mulai meredup. Seiring gelap pun menyeringai. Ini pasti bukan tuhan. Tuhan tidak mungkin seperti itu. Menghilang dan lenyap. Pasti Tuhan bukan itu semua.

Tatkala Ibrahim bertanya pada ayahnya, Azar. Tentang patung-patung itu. Dibuat sendiri lalu disembah. Padahal tidak bisa berbuat apa-apa sama sekali. Salah besar percaya pada patung-patung itu. Laku yang bodoh, pikirnya. Ini pasti bukan tuhan. Tuhan tidak mungkin seperti itu.

Tatkala ia hancurkan berhala dan patung-patung itu. Marah besar raja Namrud. Ibrahim diikat dan siap dilemparkan ke api yang berkobar. Dibakar hidup-hidup. Lalu muncul sebuah keajaiban dari Tuhan yang melampui batas rasio dan kebiasaan (baca : mukjizat): api menjadi dingin. Ibrahim tak terbakar. Ia tetap utuh dan hidup. Drama yang menegangkan dan seakan-akan absurd. Tapi terselip sebuah pesan iman bahwa kehendak dan kekuasaan Tuhan di atas segalanya.

Sebuah risiko pemberontakan nalar kritis atas tradisi dan kepercayaan dogmatis dan politis saat itu. Ia memang melawan arus. Melawan kezaliman. Untuk sebuah keyakinan. Keyakinan pada Tuhan yang hakiki. Tiada tuhan selain Tuhan itu sendiri (terjemahan “la ilaha illa Àllah” versi Cak Nur).

Tuhan yang esa. Tak terlihat tapi bukan berarti tidak ada. Tak teraba tapi bukan berarti tak terasa. Gaib tapi bukan berarti tidak nyata. Dialah Allah, Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Agung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun