Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Idul Fitri Bukan Kembali Suci, Tapi Merayakan Festival Makan

4 Juni 2019   22:11 Diperbarui: 6 Agustus 2019   16:56 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu, saat belajar di pesantren, ada satu mata pelajaran yang saya ingat dan menarik bagi saya, namanya "Fathul Munjid", yaitu belajar membuka kamus Bahasa Arab, "Al-Munjid Fi al-Lugah wa al-A'lam".

Kamus yang satu ini sempat menjadi kontroversi, lantaran pengarangnya adalah dua orang pendeta Katolik bernama Fr. Louis Ma'luf al-Yassu'i dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu'i.

Kamus al-Munjid ini dicetak, diterbitkan, dan didistribusikan oleh sebuah percetakan Katolik sejak tahun 1908.

Banyak yang mengeritiknya, tentu saja. Bahkan, tidak sedikit orang Islam yang keberatan terhadap kamus ini banyak digunakan oleh umat Islam, dan santri-santri di pondok pesantren, karena satu hal, pengarangnya beragama Katolik. 

Terlepas dari itu semua, dan ada ketidaksempurnaan pada sebuah karya, namun diakui bahwa kontribusi, manfaat dan positifnya dari Kamus al-Munjid ini sebagai referensi juga sudah terasa, dan menjadi khazanah intelektual-akademik bagi perkembangan bahasa dan sastra Arab selama ini.

Bukankah kata Nabi, "Ambillah hikmah (ilmu pengetahuan) itu, terlepas dari mana pun datangnya"?

Bukankah tidak sedikit hadis Nabi pun menyatakan, bahwa hikmah (wisdom, ilmu pengetahuan) itu adalah sesuatu yang hilang dari umat Islam, sesiapa yang menemukannya, dialah yang berhak memilikinya?

Bahkan, kita dianjurkan untuk belajar dari siapa pun dan dari mana pun, sampai ke negeri (orang) Cina, sekalipun. Tidak ada masalah sebenarnya, apalagi di era post truth sekarang ini. Makanya, nggak perlu fobia dan anti dengan yang datang dari luar dan berbeda dengan kita. Bersikaplah inklusif, membuka diri, dan moderat. Jangan bersikap ekslusif, menutup diri, dan jumud.

Kembali ke pengalaman saya, bahwa ternyata "buka" kamus saja perlu belajar. Jadi tidak semudah apa yang kita bayangkan. Karena, paling tidak, kita harus tahu dulu basic ilmu-ilmu alat, seperti Nahwu (tata bahasa) sharaf, tashrif, untuk mencari kata dasar/akar kata dan memahami kalimat dan konteksnya.

Dan ketika kita sudah bisa buka kamus itu, kita akan merasakan dan mengakui bahwa Bahasa Arab itu salah satu bahasa yang memang kaya akan kosa kata dan turunannya, kaya makna, istilah dan konteksnya.

Di sini saya coba meneroka, ketika kita ingin tahu makna dari kata "Idulfitri", misalnya. Silakan, kita buka bareng Kamus al-Munjid, hal. 536, 557 dan 558!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun