Mohon tunggu...
Muhtarom USR
Muhtarom USR Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Jurusan Administrasi Negara di UIN SUSKA RIAU

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

[Sejarah] Cara Pandang Seorang Muslim

3 November 2019   20:13 Diperbarui: 3 November 2019   20:28 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak bisa kita mungkiri bahwa narasi dan cara pandang sejarah Indonesia yang kita kenali selama ini masih didominasi kajian para orientalis. Secara umum, narasi dan cara pandang yang dibawa para indolog Belanda generasi pertama itu bermasalah sejak awal.

Di dalam buku Historical Fact and Fiction, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengkritik kerangka berpikir penulisan sejarah para orientalis yang mengutamakan urutan secara kronologis. "The when" atau kekapanan dianggap menjadi nadi penulisan sejarah. Ada anggapan, dengan menemukan kronologi suatu peristiwa sejarah terlebih dahulu, aspek "the how" dan "the why" pada peristiwa sejarah dengan sendirinya dapat terjelaskan. Mereka menggunakan metode induktif. Para sejarawan model ini mulai mengumpulkan berbagai sumber sejarah berupa dokumen resmi, catatan perjalanan, laporan ekspedisi bersenjata, dan segala bentuk sumber lainnya. Yang dicari dari data-data tersebut ialah catatan waktu kejadian. Setelah itu para sejarawan menuliskan hasil kajiannya dan memberi kesimpulan.

Kerangka berfikir semacam itu telah menjadikan sejarah sebagai pelajaran hafalan yang membosankan. Para pelajar sering sibuk mencari dan mengingat-ingat yang sekadar peristiwa, angka tahun, dan urutannya.

Dengan alasan tidak berhasil menemukan sumber-sumber sejarah yang memuat keterangan waktu secara jelas, beberapa pengkaji sejarah (khususnya para orientalis) seringkali abai terhadap peran Islam di Indonesia. Secara tidak langsung kita pun mengikuti hal tersebut dan memaknai tradisi Islam di Indonesia amat rendah. Kebudayaan Islam dipandang tak mampu melahirkan karya tulis yang berharga dan tak membawa pengaruh yang penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Islam di Indonesia hanyalah kebudayaan "pinggiran" yang jauh dari tempat dan ajaran asalnya. Begitu kira-kira beberapa pandangan umum yang kerap kita dengar.

Persoalannya, masa pengaruh Islam itu ialah 700 tahun lamanya. Artinya ada 700 tahun yang hilang dalam sejarah bangsa kita. Ada 700 tahun yang tak betul-betul dikaji dan ditafsirkan secara memadai bagi kebangsaan dan kedirian kita. Kita sering merasa tak perlu berbuat apa-apa dan menerima begitu saja hal ini. Jika dalam satu tahun Republik Indonesia bisa mengalami berbagai dinamika yang mengubah kehidupan sosial, 700 tahun tentu bukan waktu yang sebentar dan bisa disapu begitu saja dalam sejarah kita. Tidak adil rasanya jika kita tidak melakukan ikhtiar pengkajian terhadap kurun masa 700 tahun tersebut.

Sementara itu, 434 tahun kolonalisme di Indonesia banyak ditulis dan dikenal luas oleh anak negeri. Akhirnya, selama beberapa waktu lamanya kehadiran Islam hanya dimaknai sebagai pelitur luar yang menutup lapisan pengaruh Hindu-Buddha dan pengaruh animisme-dinamisme pada masa sebelumnya. Miskinnya penulisan sejarah Islam di Indonesia juga berasal dari keterbatasan cara pandang, kemampuan menempatkan sumber sejarah dan kerangka penulisan sejarah. Al-Attas mengatakan, para orientalis telah gagal dalam menuliskan sejarah kedatangan dan pengaruh Islam di Nusantara. Tentu kita tak perlu ikut gagal karena terus mengekor cara orientalis dalam melihat dan memaknai sejarah.

Bagi al-Attas, para orientalis kurang mahir dalam meletakkan peristiwa sejarah sebagai peristiwa masa lampau karena beberapa hal. Salah satunya, mereka masih memperlakukan data sejarah sepertimana data ekonomi atau data ilmu sosial yang dialami langsung dan terjadi saat pengkajinya masih hidup. Padahal, sumber dan data sejarah perlu diperlakukan berbeda dari data ekonomi atau data-data sosial hari ini. Penulis atau penelitinya tidak mengalami langsung peristiwa tersebut. Ada jarak yang teramat jauh antara peristiwa dan penulis---baik waktu, suasana zaman, nilai-nilai yang dianut, norma yang berlaku, maupun kebudayaan yang melekat---yang perlu didekatkan.

Cara untuk menembus jarak tersebut ialah usaha untuk memahami makna atau sebab batin pada setiap yang zahir. Setiap yang zahir memiliki sebab batin, setiap yang terindra memiliki hakikat asal. Oleh karena itu, setiap data sejarah yang berhasil diperoleh pasti mengandung nilai dan hakikat tertentu. Data yang berasal dari masa lalu, tak dapat kita nilai dan kita maknai dengan cara berpikir kita saat ini. Tanpa mengenali hal-hal yang perlu dikenali pada masa lalu, tulisan sejarah sangat mungkin menjadi sesat dan menyesatkan.

Salah seorang peneliti sejarah peradaban alam Melayu, Prof. Tatiana Denisova (berasal dari Rusia), mengatakan: janganlah kita mengaibkan suatu sumber sejarah hanya karena penilaian akal abad modern kita. Ketika kita menemukan hal yang kita anggap hanya khayalan yang mustahil terjadi (menurut akal kita di masa kini), tak serta-merta sumber tersebut harus kita singkirkan. Janganlah kita terlalu yakin bahwa akal kita mengalami revolusi, makin kini makin maju, sementara makin lampau makin primitif. Bagaimana kalau ternyata daya pikir dan hasil pemikiran kita di abad modern inilah yang justru mengalami kemunduran?

Al-Attas tidak menolak dan masih menganggap kronologi sebagai hal dasar yang penting dalam penulisan sejarah. Akan tetapi, ia mengingatkan, meneliti sejarah adalah mencari makna. Oleh karena itu, "the why" (kemengapaan) dan "the how" (kebagaimanaan) perlu menjadi tujuan utama dalam penelitian dan penulisan sejarah.

Al-Attas mengatakan, untuk menuliskan sejarah, kita tidak perlu melulu terpatok pada sumber tertulis yang bisa jadi sangat terbatas. Setiap data zahir atau tertulis memiliki nilai dan sebab batin di dalamnya. Oleh sebab itu, sejarawan juga perlu memahami persoalan-persoalan batin yang melingkupi suatu data sejarah. Jika kita membahas sejarah Islam dan peradaban Melayu, penelitinya perlu memiliki penguasaan yang utuh dan otoritatif mengenai agama yang sedang diselidiki; memahami pandangan alam dan bahasa yang dapat memproyeksikan pandangan alam masyarakat saat itu; kemudian menguasai simbol-simbol yang dipakai saat itu beserta maknanya yang benar; mengetahui tradisi intelektual dan keagamaan para penganutnya; serta memiliki daya akal yang kokoh dalam melakukan analisis, baik secara rasional maupun empiris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun