Hal ini yang kemudian menjadi pengantar terhadap tulisan saya, tentunya mengenai sekolah yang ternyata menghilangkan kecerdasan, karena fokus utamanya penampilan bukan penalaran.
 Menyoal Rambut Panjang yang Dilarang
 Saya heran, mengapa rambut panjang seolah-olah menjadi barang haram di dalam kebanyakan sekolahan, apa masalahnya memang? Bukankah rambut panjang hanya sebatas penampilan? Lalu mengapa agak-agaknya bagi siswa sekolah, tabu sekali memilikinya?.
 Hal ini sempat saya tanyakan pada Prof. Djoko Saryono waktu berdiskusi di Universitas Negri Malang. Dengan heran saya bertanya kepada beliau "Prof, mengapa rambut panjang itu dilarang nggeh? Atau bahkan diharamkan oleh kebanyakan sekolahan?", beliau menjawab "Pendidikan sekarang itu terlalu banyak mengurusi kepentingan pribadi dan hak asasi manusia, hal tersebut yang menjadikan bangsa kita tak berdaya".
 Mendengar jawaban dari Prof Djoko, saya merasa lega, akhirnya momok soal "rambut panjang" terjawabkan, karena kebetulan saya juga menggunakan rambut panjang sebagai simbol perlawanan, walaupun akhirnya kepotong juga, tapi setidaknya saya telah berani melakukan perlawanan akan penindasan, layaknya kisah dalam novel "Bumi Manusia" karya Pramoedya.
 Ada salah satu sekolah yang viral di dunia maya, karena kebanyakan muridnya berambut panjang, De Britto namanya, sekolah yang mayoritas siswanya memiliki kecerdasan luar biasa, prestasi yang mereka raih murni karena bakat muridnya yang dikembangkan oleh sekolah, sekolah tersebut menjadi simbol liberasi, homonisasi maupun humanisasi yang masih tersisa di Indonesia.
Ketika saya maupun kawan-kawan saya lewat di depan guru, yang akan selalu dipersoalkan adalah penampilan, seperti : "Bajumu kurang rapi", "Rambutmu kok belum dipotong?", "Sepatumu kok seperti ini?", "Sabukmu kebalik", dan semacamnya.Â
Kenapa kok bukan nalar yang ditanya, pertanyaan seperti : "Apa basis empiris kamu kok bisa sekolah disini?", "Bagaimana kalkulasi kamu waktu di kamar mandi?", "Pemberdayaan sosio-ekonomi apa yang telah kamu lakukan?", dan semacamnya.
Pertanyaan mana yang menunjukkan kecerdasan? Yang soal penampilan kah? Atau-kah yang setelahnya? Jelas bahwa pertanyaan kedua lebih menunjukkan kecerdasan, tapi mengapa pertanyaan pertama masih diemban? Atau jangan-jangan kualitas pendidik yang perlu dipertanyakan?.
 "Guru yang tak berkualitas, akan mempersulit muridnya untuk cerdas"
Hal-hal yang menjadi hak asasi terlalu diurusi, memang basis pendidikan sekarang adalah korporatisasi bukan liberasi dan humanisasi, promosi menggunakan ikhwal-ikhwal edukasi, nyatanya hanya mendapatkan penindasan diri.