Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Menghilangkan Kecerdasan: Fokus Penampilan bukan Penalaran

4 Januari 2021   06:19 Diperbarui: 4 Januari 2021   06:37 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Wallpaperbetter.com

 Hal ini yang kemudian menjadi pengantar terhadap tulisan saya, tentunya mengenai sekolah yang ternyata menghilangkan kecerdasan, karena fokus utamanya penampilan bukan penalaran.

 Menyoal Rambut Panjang yang Dilarang

 Saya heran, mengapa rambut panjang seolah-olah menjadi barang haram di dalam kebanyakan sekolahan, apa masalahnya memang? Bukankah rambut panjang hanya sebatas penampilan? Lalu mengapa agak-agaknya bagi siswa sekolah, tabu sekali memilikinya?.

 Hal ini sempat saya tanyakan pada Prof. Djoko Saryono waktu berdiskusi di Universitas Negri Malang. Dengan heran saya bertanya kepada beliau "Prof, mengapa rambut panjang itu dilarang nggeh? Atau bahkan diharamkan oleh kebanyakan sekolahan?", beliau menjawab "Pendidikan sekarang itu terlalu banyak mengurusi kepentingan pribadi dan hak asasi manusia, hal tersebut yang menjadikan bangsa kita tak berdaya".

 Mendengar jawaban dari Prof Djoko, saya merasa lega, akhirnya momok soal "rambut panjang" terjawabkan, karena kebetulan saya juga menggunakan rambut panjang sebagai simbol perlawanan, walaupun akhirnya kepotong juga, tapi setidaknya saya telah berani melakukan perlawanan akan penindasan, layaknya kisah dalam novel "Bumi Manusia" karya Pramoedya.

 Ada salah satu sekolah yang viral di dunia maya, karena kebanyakan muridnya berambut panjang, De Britto namanya, sekolah yang mayoritas siswanya memiliki kecerdasan luar biasa, prestasi yang mereka raih murni karena bakat muridnya yang dikembangkan oleh sekolah, sekolah tersebut menjadi simbol liberasi, homonisasi maupun humanisasi yang masih tersisa di Indonesia.

Foto : De Britto, Sumber : Hai-online.com
Foto : De Britto, Sumber : Hai-online.com
Kenapa Penampilan? Kok Bukan Penalaran?

Ketika saya maupun kawan-kawan saya lewat di depan guru, yang akan selalu dipersoalkan adalah penampilan, seperti : "Bajumu kurang rapi", "Rambutmu kok belum dipotong?", "Sepatumu kok seperti ini?", "Sabukmu kebalik", dan semacamnya. 

Kenapa kok bukan nalar yang ditanya, pertanyaan seperti : "Apa basis empiris kamu kok bisa sekolah disini?", "Bagaimana kalkulasi kamu waktu di kamar mandi?", "Pemberdayaan sosio-ekonomi apa yang telah kamu lakukan?", dan semacamnya.

Pertanyaan mana yang menunjukkan kecerdasan? Yang soal penampilan kah? Atau-kah yang setelahnya? Jelas bahwa pertanyaan kedua lebih menunjukkan kecerdasan, tapi mengapa pertanyaan pertama masih diemban? Atau jangan-jangan kualitas pendidik yang perlu dipertanyakan?.

 "Guru yang tak berkualitas, akan mempersulit muridnya untuk cerdas"

Hal-hal yang menjadi hak asasi terlalu diurusi, memang basis pendidikan sekarang adalah korporatisasi bukan liberasi dan humanisasi, promosi menggunakan ikhwal-ikhwal edukasi, nyatanya hanya mendapatkan penindasan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun